Keping Empat *

5.3K 170 0
                                    

Indry melompat dari boncengan Luck dan menunggu laki-laki itu memarkir motornya.

Gadis itu tak berhenti meremas jemarinya gugup.

Di dalam sana Dylan sudah menunggunya.  Indry dapat melihatnya dari luar karena sebagian bangunan kafe itu terbuat dari kaca di bagian depannya.

Semalam Luck mengiriminya pesan singkat, mengatakan bahwa Dylan ingin menemuinya.

Semula Indry menolaknya, apalagi mengingat kejadian tempo hari yang sukses membuat jantungnya bagai direnggut paksa.

Namun Luck tak lelah membujuknya, meskipun Indry terus menolak.

Menurut Luck lebih baik mereka segera menyelesaikannya meskipun dia tahu ini sangat menyakitkan.

Tapi setidaknya Indry tak perlu terus menerus memupuk harapan kosong dan dapat melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang Dylan.

Nyaris semalaman Indry memikirkan kebenaran ucapan Luck sampai gadis itu melupakan waktu tidurnya.

Bahkan tadi pagi-pagi buta gadis itu nekad menelepon Luck meminta untuk mengantarnya menemui Dylan.

Dan di sinilah Indry saat ini, duduk di hadapan Dylan tanpa sepatah katapun keluar dari mulut keduanya.

Sementara Luck entah berada di mana laki-laki itu sekarang.

"Maafkan aku." ucap Dylan setelah hampir setengah jam mereka berdiam diri.

Indry memegang erat cangkir kopi yang barusan tersaji.

Mencoba mengalihkan kemarahan agar tidak menyemburkannya pada laki-laki itu.

Tatapannya tak beralih dari kepulan asap kopi itu hingga beberapa menit lamanya.

"Maafkan aku tidak bisa melanjutkan pertunangan kita." lanjut Dylan hati-hati.

"Aku sudah menduganya." ucap Indry datar.

Dylan mengangguk salah tingkah. Gadis di hadapannya itu mampu menempatkannya di mana dirinya terlihat begitu bodoh.

"Sejak kapan kau berhubungan dengannya, Dylan?" tanya Indry dingin, terlalu dingin bahkan.

Sampai-sampai perasaan itu menjalar di sepanjang tulang punggung Dylan.

"Lebih dari satu tahun." sahut Dylan waspada.

Indry tersenyum menyembunyikan perasaan nyeri di sudut hatinya, berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

Gadis itu sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menangis ataupun mengiba di hadapan Dylan.

"Itu artinya nggak lama setelah pertunangan kita, bukan?" tanyanya masih dengan senyum.

Dylan mengangguk, "maafkan aku."

"Nggak perlu minta maaf, Dylan. Aku cukup tahu diri dengan keadaanku ... Dengan begini setidaknya aku nggak akan bertanya tanya lagi." ujar gadis itu panjang lebar.

"Ya Indry ... Sekali lagi maafkan aku." sahut Dylan tertunduk.

"Sudah kubilang nggak perlu minta maaf,"

Indry menarik napas sejenak, "pergilah, aku sudah cukup tenang sekarang." ujar Indry kemudian.

Tenang, percaya diri, dan mantab. Sebaik mungkin menyembunyikan rasa sakit yang semakin menderanya.

"Baiklah, terima kasih pengertianmu ...." sahut Dylan lirih.

"Bulan depan kami akan bertunangan, datanglah aku dan Velinna sangat mengharapkanmu." sahut Dylan sebelum beranjak.

UNCLE LUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang