BAGIAN SEPULUH

560 39 18
                                    

'Nyatanya yang paling penting dalam sebuah hubungan adalah komunikasi. Karena tanpa adanya komunikasi akan ada beberapa kecurigaan yang muncul.'
-Arletta-


Semua murid berhamburan keluar dari ruang kelasnya masing-masing, tak terkecuali Letta. Letta berjalan bersama dengan Adel dan Indah menuju ke parkiran. Katanya Indah membawa motor, padahal rumahnya hanya tinggal beberapa meter dari sekolah yang kalau jalan kaki bisa ditempuh dengan 20 menitan. Dan katanya juga jalan dari lobby sekolah ke gerbang utama itu jauh, jadi dia malas untuk berjalan kaki lebih lama. Emang dasarnya aja dia malas.

"Ndah gue nebeng ya?" kata Adel.

Letta mengerutkan keningnya. "Emang lo gak di jemput, Del?"

"Gue udah bilang ke pak Marjo supaya gak jemput," jawab Adel, "lagian gue pengen ngerasain dibonceng Indah. Katanya sih udah hampir sama lah sama Rossi,"

"Halah, masih amatiran juga sok-sok an kek Rossi,"

"Parah lo," kata Indah tidak terima. "oke besok lo yang gue bonceng, gimana?"

"Ogah gue mah, udah sama yang profesional ngapain sama yang amatiran, yang ada ntar gue malah nyemplung ke selokan lagi."

"Aelah lo berdua kenapa malah jadi ribut? Kek gak ada kerjaan aje," kata Adel. "Lo balik sama siapa Let?"

"Ohh sama Alan, jelas tentu,"

Indah menoyor kepala Letta. "Sombongnya,"

"Iyalah." Letta mengibaskan rambutnya, "Motor lo dimana Ndah?"

Indah menunjuk ke arah motornya berada, "Disana,"

"Alan nya belom dateng Let?" tanya Adel. Mereka sudah berada persis disamping motor Indah.

"Belom," jawabnya. "gue telpon dulu deh."

"Itu kak Alan," kata Indah memberitahu.

Letta menoleh, dilihatnya disana Alan bersalan seorang diri dengan tas hitam yang menyampir dibahu kanannya dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celana, lengkap dengan wajah datar dan tatapan tajamnya.

"Kamu udah nunggu lama?" tanya Alan sambil mengusap puncak kepala Letta.

"Baru juga sampe," Letta mendongakkan kepalanya. "kamu kemana? Kok aku gak lihat?"

Tadi selama disekolah Letta memang tidak melihat Alan sama sekali, bahkan teman-temannya.

"Ada kok," jawab Alan.

"Masa sih?" Letta memicingkan matanya curiga, "Kamu gak bolos kan?"

"Nggak," jawabnya dengan gumaman sambil memandang apa saja agar tidak menatap Letta.

"Lo ngapain bengong Ndah?" bisik Adel supaya Letta dan Alan tidak mendengarnya.

"Speechless gue Del ngeliat sama ngedenger suara kak Alan. Gue baru liat orang modelan kak Alan yang biasanya bersikap beringas sekarang malah lembut banget,"

"Dia emang gitu Ndah, jangankan ke orang, ke gue aja ngomong gak ada lembut-lembutnya. Paling mentok yang flat sama kaya mukanya,"

Deheman Alan membuat keduanya menyudahkan acara bisik-bisik. "Ngapain bisik-bisik?"

"Kok kepo?"

"Kalo ada yang nanya itu jawab, bukan malah balik tanya." Menurut Alan diantara semua saudaranya, Adel adalah satu-satunya saudara yang berani sama dia.

"Udah deh," derai Letta.

"Yok ah Ndah, kita balik." ajak Adel. Indah dan Adel pun menaiki motornya dan pergi meninggalkan mereka berdua setelah membunyikan klakson.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ArlettaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang