PROLOG

10.3K 797 31
                                    

Kita hidup di dunia yang membangun kesan bahwa dunia ini hanya milik si kulit putih, dengan fisik sempurna, dari keluarga kaya raya dengan kehidupan impian semua orang.

Orang bilang, kalau kau tak cukup cantik, putih, tinggi, dan mancung, maka kau tak ada gunanya. Hanya menjadi bagian dari penonton yang iri berat, dan ingin ada di posisi para bintang dengan fisik di atas rata-rata serta fans yang berlimpah.

Bahkan iklan operasi plastik di Korea mengidentikan kecantikan dengan keberuntungan. Seakan-akan dokter kecantikan menamai dirinya Tuhan yang bisa mengetahui nasib seseorang.

Namun apalah daya, dia hanya seorang Corry. Carolina Yoteni.

Gadis belia berwajah oval, berhidung pesek, berbibir tebal, berkulit hitam legam dengan rambut keriting dari bumi cendrawasih. Ya, Papua.

Bukan dari keluarga kaya raya atau anak kepala suku, hanya anak ke delapan dari seorang tukang sayur di salah satu pasar Wamena, yang pernah bermimpi bisa mendapatkan beasiswa di kota pelajar.

"KERITING RAMBUT, HITAM KULIT, HIDUP LAGI!!" teriak Farel saat gadis berseragam putih abu dengan jepit ungu di belakang rambut keritingnya melintas di koridor IPA.

"HAHAHAHAHAHAHAHAHA ...." sambut para pengikutnya.

Dan pagi akan terasa lebih lengkap, saat Farel dan komplotannya melakukan tradisi bully pada gadis dari XII IPA 5 itu.

Corry cuma menunduk dengan wajah serius, dan tak ada tanda-tanda menanggapi. Sudah biasa walaupun tak sekebal itu.

Hanya langkahnya yang berusaha dipercepat menuju kelas yang berada di ujung.

"Heh, Rel? Bandingkan baju seragammu dengan kulitnya dia!" pancing Rio.

Farel, si pria berkulit putih dan anak salah satu guru besar Universitas ternama itu langsung menggeleng syahdu. "Jauhhhh jauhhhhh ... seragamku kena noda juga, masih lebih putih noda daripada dia!!"

"BAHHHH HAHAHAHAHAHAHAHA."

Bara dan Rio semakin terbahak, membuat Corry lebih mempercepat langkah. Ada pukulan telak di hatinya, sampai-sampai berkeluh kesah. Kenapa terlahir dengan fisik seperti ini? Pikirnya bertanya-tanya.

Bara teman dekat Farel juga tak mau ketinggalan. "Aku heran, berita isinya cuma gitu-gitu aja. Konflik di Papua, konflik di Papua, konflik di Papua. Kayak enggak ada yang lain aja, ya? Enggak penting!"

"Hooh. Penuh konflik," sambung Rio.

"Gimana, sih? Kayak di Indonesia cuma Papua aja yang ada," ujar Farel sinis.

Merasa tak ditanggapi sama sekali, Farel akhirnya bertingkah lebih. Dengan langkah lebarnya, langsung menyusul Corry, menarik pundak gadis itu dengan kasar agar menghadap ke arahnya.

Sontak Bara dan Rio juga ikut-ikutan mengelilingi dengan ekspresi mengejek.

"WOYYYYY COR-COR?! JANGAN CUMA DIEM AJA DONG!" bentak Farel.

Entah kenapa kebenciannya mendarah daging sekali. Dia sudah melakukan tindakan bully itu sejak kelas sepuluh, dan satu hari pun dia tidak pernah bosan untuk membully Corry. Setiap ada berita mengenai Papua, Corry yang jadi sasaran empuknya.

"NGOMONG GITU LHO!" Rio juga ikut-ikutan menyamai volume ketuanya. Sedangkan Corry cuma menunduk saja memandangi sepatunya dengan wajah polos, padahal ada air mata yang sudah muncul di sudut.

I CAN SPEAK (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang