"Sebagai siswa disini, saya mohon agar Bapak menegur Farel Respati, Pak," pinta Asma dengan suara pelan.
Hadi angkat kepala memandang gadis berhijab itu sebelum tersenyum kecut. "Asmarani? Saya harap kamu tidak terlalu ikut campur soal Farel."
Asma malah kaget dengan jawaban itu. "Maksud, Bapak?"
Pria paruh baya di hadapannya melepaskan kaca matanya sambil menghela napas. "Asal kamu tau, ya, kamu bisa disebut anak kemarin sore di sekolah ini. Memang kamu cukup berjasa di ajang cerdas cermat beberapa waktu lalu, tapi saya harus bilang ke kamu Asma, kamu berurusan dengan orang yang salah."
"Tapi—"
"Asma?" potong Hadi tak mau tahu dan tanpa adab. "Gara-gara sikap kamu di lapangan kemarin, Pak Anggoro besok sudah harus keluar dari sekolah ini."
Hening.
Asma sampai melongo untuk beberapa saat.
"Kamu tau siapa, Farel?”
Asma menggeleng pelan.
“Farel itu keponakan dari yang punya yayasan dan sekolah ini. Ayahnya Farel, Rio, dan Bara itu yang jadi donatur terbesar di yayasan ini. Saya bisa apa, kalau Farel mau kamu juga dikeluarkan dari sekolah ini? Kamu sudah kelas dua belas, Asma. Tolong lah, jangan buat semuanya menjadi rumit!" pinta Hadi dengan tegas.
Pertanyaan di benak Asma terjawab, kenapa Pak Anggoro tak bersikap tegas kepada Farel CS.
"Mohon maaf, Pak, saya tidak pernah takut dikeluarkan dari sekolah ini. Tapi saya harus tanya, apa fungsinya sekolah ini memberikan beasiswa kepada salah satu anak Papua, tapi tidak memberikan perlindungan kepadanya? Hampir tiga tahun, Pak."
Gadis itu berusaha menasehati Hadi secara halus selaku pemimpin agar sadar, ada hak orang lain yang dia abaikan, tapi tetap saja Hadi menggeleng.
"Sudahlah, Asma. Itu kan cuma hal biasa. Mereka cuma ganggu-ganggu seperti itu, dan kalau capek, berhenti sendiri. Cuma itu saja kok. Kenapa kamu yang terlalu sibuk?"
Sontak Asma melongo. Agak kaget karena ucapan itu keluar dari seorang pria yang pernah menempuh sekolah pendidikan dan keguruan. Seorang pria yang bahkan pernah belajar mengenai seluk beluk peserta didik, termasuk psikisnya. Sangat mengherankan jika tidak memiliki kepedulian pada siswanya sendiri, hanya karena telah diangkat sebagai pemimpin dan melepaskan jabatan fungsionalnya sebagai guru.
"Pak? Bukan saya merasa lebih pintar dari Bapak, tapi saya pikir, saya harus ingatkan ini kepada Bapak. Kasus pembullyan bukan hal biasa, Pak. Ini merusak generasi muda terutama pada kejiwaannya. Bisa berdampak sampai dewasa, bahkan seumur hidup. Saya harap Bapak peduli." Suara Asma tetap berusaha pelan.
Meskipun dia ingin sekali berapi-api, tapi kepala sekolah tetaplah pemimpin di sekolah yang harus dihormati dan tidak asal dinasehati. Karena pemimpin memiliki karakternya sendiri, pikirnya.
"Bapak tentu lebih paham daripada saya yang masih banyak belajar dan belum apa-apa ini. Saya ingin mengingatkan saja, Pak, The Psychological Effects Of Bullying Last Well Into Adulthood Study Finds menyebutkan bahwa anak-anak yang menjadi korban bullying, memiliki risiko tinggi mengalami gangguan depresi, gangguan kecemasan, generalized anxiety disorder atau kecemasan kronis yang ditandai dengan rasa khawatir dan tegang yang berlebihan, dan agorafobia atau ketakutan dasar yang berasal dari perasaan terjebak di tempat umum, saat seseorang merasa sulit melarikan diri, dan rasa takut tidak akan tersedianya pertolongan apabila seseorang mengalami serangan panik pada saat dewasa.
"Ini cuma sebagian kecil dari efeknya, dan saya rasa ini bukan hal remeh, Pak. Bahkan korban bullying bisa melarikan diri pada hal-hal negatif. Jadi saya harap, Bapak tidak heran kalau prestasi Corry terus menurun. Wajar, sekolah tidak pernah berusaha menciptakan lingkungan yang nyaman untuknya. Pendidikan dan perlindungan itu hak semua anak bangsa, Pak. Bukan cuma kalangan berduit dan anak dari petinggi."
Hadi tersentak. "Asma?" panggil Hadi dengan suara pelan agar gadis itu mengerti. "Saya tau niat kamu baik, saya juga tau bahwa perundungan atau bully itu berdampak tidak hanya pada korban, tapi juga pada kejiwaan dari pelaku. Tapi saya harap kamu pertimbangkan lagi Asma, kalau semua guru berusaha membela Carolina, bagaimana nasib mereka? Kami punya anak yang masih sekolah, bagaimana kami membiayainya? Jadi tolonglah Asma, jangan buat semuanya nenjadi sulit seperti ini!"-Hadi menoleh ke luar jendela-“kamu sudah tau kemana saya berpihak."
Agak lama Asma terdiam sebelum menarik senyum terpaksa. "Kalau begitu, saya permisi, Pak. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Hadi.
Jangan tanya kenapa Asma tidak menggebrak meja, tidak membentak kepala sekolah, apalagi sampai memprovokasi orang lain untuk demo. Jelas, karena dia hanya membatin, "Okay, tunggu aja! Aku tikung hati kamu di sepertiga malam melalui doa."
Dia sudah berusaha mengingatkan kepala sekolah. Kini giliran berdoa, bukan menghina. Karena doa adalah senjata orang mukmin, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I CAN SPEAK (Tamat)
Spiritual#KARYA 7 "HITAM, KERITING, PESEK, HIDUP LAGI!!" Bentak Farel ke arah Corry. Ini tentang Asmarani, gadis penakut yang mencoba menggebrak rasisme dan tindakan bullying di sekolah dengan membela Corry. Satu-satunya gadis berkulit hitam dari tanah Papua...