"Assalamu'alaikum," ucap Asma begitu memasuki pintu besar berwarna putih itu.
Tampilannya sudah berubah, yaitu memakai rok putih abu standar untuk yang tidak berhijab, baju seragam putih selengan yang dilapisi jaket abu-abu, dan tanpa hijab sama sekali.
Penutup jaketnya berusaha dipaksakan untuk menutupi kepala, tapi begitu melihat pria paruh baya yang sedang membaca buku di sofa itu, cepat-cepat gadis itu menurunkan penutup kepalanya dan hanya menampakkan rambut pendek sepundak yang terurai.
"Udah pulang?" tanya Edward tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya.
Asma mengangguk dengan ekspresi tegang sebelum mencium punggung tangan pria itu dengan lembut. "U ... udah, Pa," jawabnya gelagapan.
Entah kenapa gadis itu takut sekali dengan Papanya sendiri.
"Hm, masuk! Setelah itu makan."
"Baik, Pa."
Barulah Asma masuk ke kamarnya, meninggalkan pria yang masih duduk tepat di bawah lukisan brevet komando milik Kopassus itu.
Baru duduk di atas kasurnya, Asma sudah menghela napas panjang. Lega. Tapi tidak bisa membohongi diri, ada perasaan bersalah telah melakukan tindakan yang sudah tiga hari belakangan dilakukannya itu. Ya, mengganti seragamnya setiap akan pulang sekolah.
Dari panjang menjadi pendek. Dari berhijab menjadi tidak berhijab.
Semuanya tidak lain karena Papanya. Pria yang dulunya menjadikan keislamannya sebagai mahar saat menikahi Mamanya, tapi sampai hari ini tidak pernah bisa menerima aturan berhijab bagi perempuan Muslimah. Bahkan cenderung menghalang-halangi Asma untuk menaati aturan apa pun yang berkaitan dengan Islam.
Alhasil setiap pria itu pulang dari tempat tugasnya di Jakarta Timur, Asma tidak pernah bisa tenang mengamalkan sedikit ilmu yang sudah diketahuinya dari pelajaran agama Islam di sekolah.
"Tas kamu kenapa sih kotor gini?" tanya Lydia yang tadi baru saja masuk.
Anak bungsunya itu menunduk. "Entar aku cuci deh, Ma," balasnya tanpa memberi jawaban pasti.
Tak lama Lydia mengambil tempat di samping putrinya itu. "Seragam kamu yang panjang sama jilbabnya, kalau mau dicuci juga, jemurnya di ventilasi kamar mandi kamu, ya?" titah wanita paruh baya itu dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Lagi-lagi Asma hanya mengangguk saja. Dia tidak memiliki cukup keberanian untuk berontak, karena dia terlalu takut pada Edward. Pria berpangkat kolonel yang menjabat sebagai wakil danjen Kopassus.
Inilah dia, yang mengaku hanya takut pada Tuhan, tapi hari ini berani melawan perintah Tuhan hanya karena takut pada manusia. Rasanya jika ada manusia yang paling ingin ditertawakan, maka dialah orangnya, pikirnya. Karena hanya seperti singa kertas, gagah dalam narasi, tapi buntu dalam aplikasi.
"Asma? Ada kiriman paket buat kamu dari Rangga," teriak Edward dari luar.
"Hahhhhhh.” Asma kaget.
Jelas saja, karena Kakak pertamanya sekaligus anggota grup 1 Kopassus itu dikabarkan sedang ditugaskan, jadi tidak bisa dihubungi apalagi mengirim paket untuknya.Begitu mengambil kotak berukuran sedang itu di luar dan kembali ke kamarnya, dia langsung membukanya. Isinya malah ubi kayu dan beberapa makanan lokal Papua.
"Astaga." Gadis itu sampai geleng-geleng dan tertawa kecil.
Tak lama dia menarik sebuah kertas putih di samping dus.
"Bismillah
Hey anak rumahan? Cobain nih! Ini enak sekali. Asli dari tanah Papua, rasanya tidak akan sama dengan tanah lainnya.Jangan bagi-bagi ke Ukasyah, soalnya sudah aku kirim untuk dia langsung menuju Bandung. Kurang perempuan saja untuk dia nikahi.
Kakak Gantengmu,
Lettu Arrangga Kurniawan."Lagi-lagi Asma tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. Bahkan Rangga masih mengingatnya saat pulang dari medan tugas. Wajar, mereka pernah menempati rahim yang sama.
"Kak Rangga? Baik-baik di Jakarta, ya. Cepat pulang kalau ada waktu," batinnya penuh harap.
KAMU SEDANG MEMBACA
I CAN SPEAK (Tamat)
Spiritual#KARYA 7 "HITAM, KERITING, PESEK, HIDUP LAGI!!" Bentak Farel ke arah Corry. Ini tentang Asmarani, gadis penakut yang mencoba menggebrak rasisme dan tindakan bullying di sekolah dengan membela Corry. Satu-satunya gadis berkulit hitam dari tanah Papua...