"Corry?"
Gadis berkulit hitam yang duduk di deret belakang itu angkat kepala, dan mendapati Asma sudah berdiri di pintu kelas sambil melambaikan tangan dengan senyum lebar.
Corry yang agak canggung cuma memasang ekspresi datar. Dia tidak tau harus menyebut Asma sebagai apa, karena hampir tiga tahun bersekolah di SMA Dallas justru tidak membuatnya memiliki seseorang bernama teman. Hanya tatapan aneh penuh penghinaan yang sering diterima gadis pendiam itu.
Tak lama Asma sudah mendekat sebelum menyodorkan tangan. "Asma," ucapnya mengenalkan diri. "Kita sering ketemu, tapi belum pernah kenalan langsung." Gadis berhijab lebar itu tertawa kecil.
Sedikit menunduk, Corry menyodorkan tangannya dengan malu. Menjabat tangan dengan warna kulit terang di hadapannya dengan ragu.
"Corry,” katanya dengan suara pelan.
"Okay, Corry. Kelas aku di sebelah kamu lho," kata Asma menginfokan.
Berusaha memberitahu bahwa mereka tetangga kelas, agar bisa saling membantu jika butuh bantuan.
"Saya sudah tau."
Asma agak kecewa dengan respon dingin itu, tapi tetap saja tak menyerah dengan menebar senyum.
"Oh,”-Asma menganggukkan kepala-“aku cuma kasitau kok, siapa tau kamu belum tau. Kan bisa bareng kalau ke kantin."
Maklum, selama dia pindah ke Dallas, belum pernah dia melihat Corry mampir ke kantin saat istirahat.
Untuk beberapa saat, suasana malah hening-hening saja walaupun tak ada bunyi jangkrik.
Asma yang menggigit bibir duluan. Berpikir menemukan topik pembicaraan yang tepat.
"Eh, ke kantin yuk, Corry? Aku traktir. Anggap aja permulaan pertemanan. Boleh, kan?" tanyanya meminta persetujuan.
Ekspresi Corry malah ragu. "Tapi—"
"Enggak apa-apa. Beneran deh. Mau, ya?" Asma tersenyum lagi ke arah gadis yang selalu menghindari tatapan mata dengannya itu.
Tak sampai dua menit, akhirnya Corry menganggukkan kepala.
Entah kenapa Asma yang bahagia. "Alhamdulillah, yes!"Dan jawaban kenapa Corry selalu menghindari keluar ke kantin terjawab sudah.
Jelas saja, sepanjang perjalanan di koridor menuju kantin, tatapan-tatapan aneh, penuh ejekan sudah dilayangkan begitu saja ke arah mereka. Bahkan ada yang tertawa sendiri tanpa sebab saat melihat Asma dan Corry. Lebih tepatnya saat melihat Corry.
Asma malah tak suka dengan sikap-sikap tersebut, bukannya malu, dia malah menggenggam tangan Corry dan tersenyum ke arah gadis itu, sebelum bercerita hal yang bisa mengalihkan perhatian Corry dari orang-orang di sekitar yang menurutnya kurang bijak dalam bertindak.
"Aku pernah ikut festival seni dan sastra di Palembang. Waktu itu, aku ikut cipta puisi. Aku duduk dan di sebelahku itu, ada anak Papua Barat lho."
"Iya?" Corry penasaran.
"Iya." Asma menganggukkan kepala. "Dia keren banget puisinya. Aku aja enggak nyangka dia bisa buat puisi sebagus itu. Tentang kita adalah Papua. Keren bangettttttt. Dia juara tiga lho senasional. Aku malah enggak juara," puji Asma sambil tertawa mengenang festival nasional yang pernah diikutinya mewakili DKI Jakarta.
Kali ini Corry mulai tersenyum tipis. Mulai bangga sebagai anak Papua.
“Tau enggak Corry, dia tuh baik banget. Aku dapat satu kamar sama dia waktu di hotel Horison Ultima Palembang. Waktu aku sakit dua hari sebelum pulang kembali ke Jakarta, dia yang jagain aku sama pijitin punggungku. Dia milih enggak ikut jalan-jalan sama peserta lain, padahal waktu itu jadwalnya jalan-jalan." Ceritanya penuh semangat membuat Corry melihatnya dengan senyum yang makin melebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I CAN SPEAK (Tamat)
Spiritual#KARYA 7 "HITAM, KERITING, PESEK, HIDUP LAGI!!" Bentak Farel ke arah Corry. Ini tentang Asmarani, gadis penakut yang mencoba menggebrak rasisme dan tindakan bullying di sekolah dengan membela Corry. Satu-satunya gadis berkulit hitam dari tanah Papua...