Asma baru saja membuka portal berita di ponselnya, saat berita kerusuhan besar di Papua Barat itu mendadak ada di urutan pertama.
"Rusuh di Papua Barat karena Rasisme."
Topik yang membuat hatinya sedikit bergidik ngeri. Terlebih ketika membaca isinya. Sejumlah mahasiswa dan masyarakat yang memblokir jalan protokol di Manokwari, karena kasus rasisme dan penganiyayaan terhadap seorang mahasiswa asal Papua yang studi di salah satu tanah Jawa.
Ini bukan yang pertama, sebelumnya pun sudah ada kerusuhan di Jayapura. Belum lagi di Wamena dengan issue yang sama. Rasisme.
Hal yang kerap dianggap sepele. Ucapan lisan yang kerap dianggap sebagai bahan bercandaan, tapi sebenarnya berpengaruh dalam kepada penerima dan berdampak pada hal yang lebih besar.
Entah sampai kapan semua anak bangsa akan paham, bahwa perbedaan sebenarnya adalah keragaman yang membuat kita belajar satu hal. Saling menghargai, pikirnya.
Tissss
Air matanya terjatuh dalam diam.
Hadir dalam banyak momen nasional sejak kecil, membuatnya sangat mencintai Indonesia. Terlebih berasal dari keluarga militer yang dapat memaknai perjuangan Edward dan Rangga serta banyak Tentara Nasional Indonesia lainnya membuatnya sadar, kedamaian bangsa ini lebih penting dari segala ego pribadi.
Asma tidak pernah bisa membayangkan, kalau Corry berpikir untuk melaporkan kejadian bully tersebut kepada anak-anak di salah satu SMA di Yogyakarta yang menjadi basis anak-anak Papua, lalu Farel juga tak mau kalah. Dia tidak bisa membayangkan, akan seperti apa nasib pendidikan Indonesia hanya karena saling serang antar sesama, padahal kita dinaungi warna bendera yang sama. Merah Putih.
Asma mulai merasa, bullying dengan menyinggung warna kulit, bukan lagi masalah remeh seperti yang dikatakan oleh Hadi. Ini bukan lagi sekedar menyerang psikis dari korban maupun pelaku, tapi ini mengancam keamanan negara. Membuat pertikaian besar antar sesama anak bangsa
"Aku harus melakukan sesuatu," batinnya.
Kali ini dia benar-benar bertekad dengan sungguh-sungguh. Farel dan orang-orang yang sepemikiran dengannya harus dihentikan.
Tiba-tiba perhatiannya teralih pada ponselnya. Sebuah panggilan masuk dari Edward.
"Papa sudah suruh orang untuk ijin di sekolahmu. Sore ini juga, berangkat ke Jakarta. Besok ada acaranya Kopassus di Cijantung. Kamu dan Ukasyah harus hadir."
Dan perintah Edward itu menjadi bagian paling dilema dalam hidupnya. Itu berarti dia akan hadir disana dengan kebaya ketat, tanpa hijab sama sekali. Dia harus apa, dia juga tidak tau. Mempertahankan prinsip atau membuat suasana rumah menjadi tidak harmonis. Pada akhirnya dia harus memilih.
Dengan perlahan, dia menelpon Corry.
"Hallo, Corry? Bisa temani aku ke Jakarta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I CAN SPEAK (Tamat)
Spiritual#KARYA 7 "HITAM, KERITING, PESEK, HIDUP LAGI!!" Bentak Farel ke arah Corry. Ini tentang Asmarani, gadis penakut yang mencoba menggebrak rasisme dan tindakan bullying di sekolah dengan membela Corry. Satu-satunya gadis berkulit hitam dari tanah Papua...