"Terima kasih, Bu," ucap Asma sopan kepada Melan. Penjaga perpustakaan berekspresi datar, yang dalam sejarahnya selama di sekolah hanya bisa tersenyum kepada Asma. Ya, karena Asma sangat sopan dan mengerti cara memperlakukan serta menghargai orang yang lebih tua. Tidak seperti kebanyakan siswa yang selalu dikatainya, "Anak kurang dididik sama orang tua."
Riska dan Asma langsung keluar sambil menenteng buku cetak Fisika.
"Kenapa sih kamu tuh selalu bilang terima kasih sama orang? Ini kan emang tugasnya, Bu Melan?"
Gadis di samping Riska itu malah tertawa kecil. "Ustadzahku bilang, kalau dalam Islam itu, enggak dikatakan bersyukur sama Allah Ta'ala, bagi orang yang enggak tau berterima kasih sama manusia. Ada haditsnya, lho.
"Papaku juga ngajarin, untuk menghargai jasa orang lain sekecil apa pun itu dengan mengatakan kalimat sesederhana, 'terima kasih'. Kita enggak tahu pengorbanan orang lain seperti apa untuk melakukan kebaikan buat kita. Jadi apa salahnya sih, kita manfaatin berapa detik aja untuk bilang, 'terima kasih'?"
Riska angguk-angguk kepala. "Bener juga sih," kata gadis itu sambil merenung.
Zaman sekarang, jarang orang yang mau memperhatikan hal tersebut, pikirnya.
Keduanya terus berjalan menuju jalanan di samping kolam ikan yang ada di taman depan kelas IPS. Tepat sekali Farel juga melintas seorang diri dengan baju seragam yang tak disisip. Begitu melihat Asma, sontak manik hitamnya sedikit membulat. Ide anehnya langsung muncul tanpa bisa ditahan.
Benar saja, pria itu langsung berlari kencang ke arah Asma.PRAKKKKKKKK
Sepuluh buku cetak di genggaman Asma sudah tercebur ke dalam kolam ikan.
"AAAAAAAAAA—" Riska histeris seketika.
"MAMPUSSSS! BELAJAR LAGI TENTANG HIDUP!!" teriak pria itu sambil menjauh.
Asma menatap punggungnya dengan tatapan jengkel luar biasa. Bahkan tangannya sudah terkepal kuat-kuat, mukanya memerah menahan kesal, dan tiba-tiba air matanya sudah mengalir membanjiri pipinya.
Begitu melapor pada Melan, wanita itu justru memarahinya. "Saya tidak mau tahu, kamu harus ganti buku ini!" Untuk pertama kalinya Melan segalak itu pada Asma.
Alhasil jam istirahat belum berakhir, tapi Asma sudah ijin pulang lebih dulu. Perasaannya hancur. Sepanjang perjalanan menggunakan trans jogja, air matanya tak mau berhenti sama sekali.
***
"Papa, kan, udah bilang, kamu hati-hati, dong! Jangan ceroboh kayak gini, Asma! Bikin malu aja sih!"
Hampir sepuluh menit Edward marah-marah dari seberang telepon. Ini bukan masalah uang yang harus dikeluarkan untuk mengganti buku perpustakaan, karena itu tidak ada apa-apanya baginya. Pria itu hanya tidak suka saja dengan kecerobohan putrinya.
Lagi-lagi Asma tidak melapor kejadian lengkapnya sampai melibatkan Farel. Dia menutup rapat-rapat dan berusaha tanggung jawab sendiri.
"Maafin Asma ya, Pa?"
"Maaf aja yang kamu bisa! Kamu pikir cari uang itu mudah?! Lagian kamu itu kan cuma bisa minta dan …. "
Deg
Jantung Asma berdebar kencang. Dia malah heran, kenapa Edward bisa sekasar itu akhir-akhir ini, tapi dia memilih diam saja.
Cepat-cepat Lydia meraih telepon di genggaman Asma, dan mendengar rentetan perkataan suaminya yang terdengar sangat kasar di telinganya itu.
Terkadang wanita itu merasa, kasih sayang Edward harus dipertanyakan. Karena orang yang sayang, tidak akan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti orang yang disayanginya, pikir Lydia.
KAMU SEDANG MEMBACA
I CAN SPEAK (Tamat)
Spiritual#KARYA 7 "HITAM, KERITING, PESEK, HIDUP LAGI!!" Bentak Farel ke arah Corry. Ini tentang Asmarani, gadis penakut yang mencoba menggebrak rasisme dan tindakan bullying di sekolah dengan membela Corry. Satu-satunya gadis berkulit hitam dari tanah Papua...