Tetangga Menyebalkan

91 2 0
                                        

🎶 Jika dia memang bukan untukku tolong reda dan redalah 🎶 -Tulus

***

Awalnya ia kira, hari ini mungkin ia bisa istirahat di rumah sembari menunggu untuk masuk kantor di hari berikutnya, tapi ketika urusan mobil lebih cepat selesai dari yang ia perkirakan, maka sungguh ia merasa tidak ada alasan lain untuk tidak kembali ke kantor selepas jam istirahat makan siang.

"Nanti kalau selesai kabarin aja ya, Pak," ucapnya setelah sebelumnya menyelesaikan pesanan makan siang di aplikasi layanan untuk memudahkan orang-orang sepertinya, baru kemudian meninggalkan mobilnya untuk dikerjakan oleh ahlinya. Tak lupa ia mengirimkan pesan ke sekuriti kantor untuk pesanannya yang akan diantar ke alamat kantor. Ia perkirakan makanan yang dipesannya lebih cepat sampai ketimbang dirinya. Jam makan siang rawan-rawannya macet.

Dan ketika sampai di kantor pun, Dani sedivisinya menyambut dengan kebingungan. "Yey, gue kira bakal bolos lo hari ini." Ia berpapasan dengan laki-laki itu ketika keluar dari area wastafel habis cuci tangan. Sepertinya Dani habis makan dari bawah, menyusul beberapa rekan kerjanya di belakang.

Ara terkekeh sambil melanjutkan langka menuju tempatnya. "Tadinya emang rencananya gitu, Mas." Ia meletakkan tas di meja beserta totebag yang diambilnya tadi di sekuriti, duduk lalu memutar kursi ketika laki-laki dua tahun lebih tua itu bertanya.

"Aman urusan adik Lo?"

"Aman, udah di rumah." Ara mengangkat kepala, pintu ruang rapat di sebelah belum terbuka, melirik jam di pergelangan tangan, hampir jam dua siang. "Rapat belum selesai?"

"Belum."

"Nggak ikut, Mas?"

"Kesiangan tadi, Ra." Alina yang merupakan rekan sedivisinya juga menyahut.

Ara menatap Dani penuh selidik, tapi pikirannya diterjemahkan langsung oleh Alina si perempuan dengan muka oriental dari meja sebelah. "Habis nikah, akhir-akhir ini Lo sering banget telat, sumpah. Kenapa tuh? Bukannya harus lebih semangat nggak sih cari uangnya?"

Sambil terkekeh, Dani menatap Ara dan Alina bergantian. "Kalau gue cerita juga nggak bakal ngerti lo pada, makanya lo berdua gaskan." Dan berlanjutlah Ara dan Alina mendapat wejangan dari si pengantin baru itu. "Kalau kata gue mah, nggak usah dilama-lamain." Ara siap-siap menerima roasting yang ia jamin sungguh tidak mengenakkan dari Dani, seperti yang sering dilakukan sebelum-sebelumnya, menyinggung soal hubungannya dengan Pak Pandji mereka. "Tunangan satu tahunan lama sih itu." Nah, kan. Jadi sebelum semakin merembet ke mana-mana, Ara segera memutar kembali kursinya, membuka totebag di atas meja. "Udah pada makan kan. Cuma pesan seporsi gue."

"Udah tadi di bawa. Tapi kalau Lo tawarin juga nggak apa-apa si, Ra." Dani tanpa malu keluar dari area mejanya, hendak mencomot, tapi dicegah oleh Ara dengan cepat ia menyerahkan selembar tisu ke Dani.

"Udah dikirim buktinya?" Ara menoleh ke Dani. Laki-laki itu sudah kembali duduk di kursinya sambil mengunyah. "Kalau udah langsung kirim ke email gue ya, Mas." Dan dibalas dengan acungan jempol oleh laki-laki itu.

Satu setengah jam berlalu, riuh-riuh orang keluar dari ruang rapat. Dani yang tadinya sibuk membuka-buka dokumen di meja Alina sambil berdiri langsung menoleh, lalu kemudian menunduk ke arah Ara dan berkata layaknya bisikan. "Ada mas-masmu."

Awalnya ia berpikir bahwa ia tidak akan termakan omongan Dani, tapi akhirnya ia menoleh juga, agak lambat karena ia hanya mendapati kedua punggung, Pandji dan Pak Brylian itu menghilang di belokan ujung sana disusul beberapa punggung lainnya. "Iya, Lo nggak salah liat."

Ia tidak perlu diingatkan bahwa Pandji dan Brylian adalah sepupu, bahwa kuasa hukum yang ditunjuk Disa tahun lalu untuk membantu dalam kasus perceraian perempuan itu adalah Brylian sendiri. Sungguh ia tidak perlu diingatkan.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang