CHAPTER 2

2.1K 212 25
                                    

Please click ☆ first

***

"A Tough Day"

***

Kerlip lampu yang menghiasi panggung kecil itu membuat sepasang mata seorang anak laki-laki dengan dasi kupu-kupu itu terdiam sebentar. Ia berhenti berlari untuk mengamati panggung dimana ada dua orang yang terlihat tengah tertawa bahagia di sana.

Orang tuanya.

Ia bisa melihat kedua orang tuanya melambaikan tangan ke arahnya dengan seulas senyum yang begitu hangat. Memintanya untuk ikut naik ke atas panggung itu bersama mereka, sementara para tamu undangan yang hadir tampak menyemangatinya untuk mengikuti permintaan itu.

Anak laki-laki itu bergeming. Ia lantas memberikan sebuah senyum lebar, memperlihatkan satu titik lesung pipit yang ada di bawah salah satu ujung bibirnya. Lesung pipit mungil yang membuat senyumnya terlihat lebih menawan.

"Aku akan mengambil kamera dulu sebentar." Anak laki-laki itu kembali tersenyum lebar lantas berlari ke arah ruangan yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Ruangan dimana kamera itu tersimpan.

Dengan langkah ringan dan penuh semangat, ia meraih kamera yang berdiam di atas meja. Senyumnya masih tak pudar hingga ia merasa ada yang aneh pada tubuhnya. Kepalanya tiba-tiba terasa berat, tubuhnya sakit.

Anak itu kebingungan, dia sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit apapun. Tapi, ada apa dengan tubuhnya tiba-tiba?

Berusaha sekuat tenaga, anak itu berjalan keluar dari ruangan itu masih dengan kamera yang ia genggam erat seolah itu adalah pegangannya agar tak jatuh terhempas ke rerumputan hijau dimana pesta itu diadakan.

"Ibu, Ayah, ada yang aneh dengan tubuhku. Rasanya sa-" ucapan anak itu terputus ketika ia melihat ada banyak tamu undangan yang kesakitan dan berjatuhan di atas rerumputan.

Sepasang mata anak itu dengan cepat langsung terarah pada panggung kecil yang gemerlap oleh lampu hias itu, dimana ia menemukan kedua orangtuanya terbaring disana. Tak sadarkan diri.

Ia ingin sekali berlari ke arah kedua orangtuanya. Tapi, tubuhnya sakit sekali. Kedua kakinya mulai kehilangan energi untuk tetap berdiri, apalagi berlari.

Samar-samar ia bisa mendengar rintihan para tamu undangan yang merasakan sakit yang sama sepertinya. Rintihan yang membuatnya merasakan takut luar biasa, ia berharap semua itu benar-benar hanya mimpi.

Kumohon biarkan aku bangun!

Kedua kakinya tak mampu lagi bertahan hingga ia ikut terbaring di atas rerumputan. Pandangannya hanya tertuju pada kedua orangtuanya yang sudah tidak bergerak sama sekali, wajah mereka juga sangat pucat.

Berbanding terbalik dengan tawa dan keceriaan yang baru beberapa saat yang lalu ia lihat. Semuanya lenyap dalam sekejap, runtuh tanpa menyisakan apapun.

Di tengah kesadarannya yang hampir hilang, anak laki-laki itu merasakan butiran air yang jatuh ke arahnya.

Hujan.

Tetesan air hujan membuat pandangannya semakin mengabur. Bahkan ia sama sekali tak bisa mendengar rintihan lagi karena tertutup oleh suara hujan.

Anak laki-laki itu mulai kehilangan cahaya pada pandangannya, diikuti dengan suara dengungan panjang yang mengisi telinganya sampai akhirnya semua berubah menjadi gelap.

Membuatnya sesak. Sangat sesak.

---

Pria itu membuka kedua matanya. Tubuhnya dibanjiri keringat, sementara napasnya tampak tersengal. Ia terbangun dari tidurnya dengan raut wajah yang tak bisa didefinisikan hanya dengan sederet kata-kata sederhana.

EPOCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang