4 - Kenapa Harus Begini

689 116 17
                                    





"Ah! [Name]!"

Akhirnya ada seseorang yang memanggilku, dan pastinya-- seorang petugas wanita. Di hadapanku, dia bercakap menggunakan bahasa Jepang. Air mukaku yang kebingungan segera ia tangkap, kali ini membaca secarik kertas.

"Mama sudahu menun-gu di ruanggu adminis-torasi. (Mama sudah menunggu di ruang administrasi.)" 

"Oke..?" 

Petugas tersebut beranjak pergi, diekori olehku yang sedikit tertinggal karena orang ini berjalan dengan cepat.

Anganku terlalu tinggi, berharap mama yang akan menjemput. Aku lupa akan kehadiran tante-eyang yang membersamai kami. Tidak mungkin, lah, mama menggotong tante-eyang tahu-tahu beliau kelelahan di tengah mencariku.

Kami sampai di depan gedung administrasi. Mama dan tante-eyang melambai ke arahku seakan aku sudah lama pergi dan baru ingat rumah. Kami bertiga membungkuk berterima kasih kepada petugas lalu duduk di sebuah food court.

"Syukurnya mama masih bisa mengingat pakaian rempongmu itu, [Name]. Apa jadinya kalau kamu hilang di tengah kerumunan." Kalimat pertama yang keluar dari mulut mama tidak bisa kuidentifikasikan sebagai bersyukur atau mengeluh. Seorang pelayan menghampiri lalu dengan cepat tante-eyang menolak.

"Mama tinggal bilang aku berkulit sawo matang," balasku sambil mengeluarkan minyak kayu putih dari saku, lalu menghirupnya.

"Tidak spesifik. Petugas bisa saja malah menarik anak Melayu lainnya."

Sementara itu, tante-eyang agaknya mulai tidak tahan dengan bau dari minyak kayu putih, meski masih menatap dengan antusias. Aku segera memasukkannya kembali ke dalam saku.

Mama mulai berbincang dengan bahasa Jepang dengan tante-eyang. Aku yang masih belum mengerti satu patah kata mulai memainkan ponsel dan membuka notifikasi yang berdatangan dari chat group sekolah. Oh, beberapa juga PC-an teman. Menelusur ke bawah, muncul satu nama--

"Shimatta! Aku lupa beli Konbu Jelly!" (Jepang: Ya ampun!)

"Sekarang sudah sok pakai bahasa Jepang, ya, [Name]," sindir mama, berhenti sebentar dari percakapan dengan tante-eyang. Tante-eyang melirikku, lalu mengatakan sesuatu kepada mama.

"Yang kamu maksud shirasagi konbu? Yang benar namanya itu," ujar mama. Aku mengangguk-angguk saja daripada dinilai durhaka kepada orangtua.

Tante-eyang mengucap semangat akan suatu hal, kemudian membuka tablet 7 inci miliknya, lalu menunjukkannya ke mama. Karena duduk berseberangan, aku memutuskan untuk ikut menilik apa yang ditunjukkan beliau.

"Berkatmu [Name], sekarang Tante ingin belanja. Padahal jam 2 seharusnya beliau sudah di rumah," gerutu mama. Kenapa aku jadi korban di sini? "Yang terdekat 3 menit, sih. Tapi milih-milihnya yang lama."

Tante-eyang lalu berbicara cukup panjang dengan mama. Dua menit yang singkat segera mengubah pikiran mama, mengantarkan kami bertiga menuju shopping district terdekat.

Jelly yang diminta Kita tidak sesulit itu didapat. Mereka dibungkus dalam kotak dengan rapi, namun hanya tersedia dua rasa, azuki dan plum. 

Menurut beberapa sumber di internet, azuki dalam bahasa Indonesia adalah kacang merah. Ya, kacang merah pada umumnya, yang sering ditemukan pada es kacang merah. Yang lain berpendapat arti dari azuki adalah kacang-kacangan kecil, termasuk pula kacang merah. Azuki tumbuh di Asia Timur, dan memiliki warna lebih gelap dari kacang merah di Indonesia, serta berukuran mini, hampir seperti ukuran kacang hijau di Indonesia. 

Plum atau prem sendiri termasuk mawar-mawaran (Rosales), satu genus bersama ceri dan persik (Prunus) dengan pohon bersemak dalam bentuk fisiknya. Plum tidak banyak dibudidayakan di Indonesia, namun buah ini dikenal kaya akan serat dan antioksidan. Sering dijadikan bahan olahan seperti jeli, atau hiasan pada hidangan penutup. 

Tante-eyang sendiri mencari sandal baru untuk berpergian. Dasar perempuan.

Padahal aku sendiri juga perempuan.


"'Kereta akan tiba sesaat lagi. Karena berbahaya, mohon berdiri di belakang garis kuning', begitu kata mbak-mbak stasiun. Diulang dua kali." Mama menerjemahkan kalimat pengumuman di stasiun kepadaku. Sebelumnya kuminta karena kami tiba 15 menit lebih awal dan menunggu adalah hal yang membosankan. Tante-eyang asik memainkan tablet 7 inci miliknya, mama juga sibuk dengan ponsel. Aku menghela napas, sedang tidak tertarik bermain ponsel.

Jam makan siang adalah waktu padat. Hilir-mudik orang-orang berjas dan berkemeja rapi, berjalan terburu-buru. Aku tidak paham kenapa orang di sini selalu terburu-buru, apa karena mereka kelewat menghargai waktu? Beberapa anak sekolah yang mungkin baru pulang juga menunuggu kereta, mereka bergerombol. Turis asing juga dapat ditemukan dengan mudah, berhubung Himeji adalah daerah wisata.

"Nah, itu pengumumannya. Ayo, [Name]!" Mama dan tante-eyang langsung berdiri sementara aku sedikit ogah-ogahan karena sebentar lagi akan berada di rumah. Mama segera menarik lengan diikuti badanku yang ogah-ogahan. Hampir saja menyenggol orang jika aku tidak segera menguasai diri.

Orang-orang mulai berkumpul di tepi peron. Suara kereta dari jauh sudah terdengar memperlambat lajunya. Para petugas berjaga di depan garis kuning agar tidak ada yang melangkah untuk membahayakan dirinya. Mama menggenggam erat lenganku di tengah kerumunan yang sedikit menyesakkan, mungkin tante-eyang juga digenggam tangannya sama sepertiku. Tinggi orang Jepang tidaklah terlalu menjulang, aku masih bisa melihat mama di depanku walau sudah terhimpit orang.

Shiuuut...

Kereta berhenti. Penumpang di dalam ke luar, langsung diserbu orang yang ingin masuk ke dalam. Kursi terdekat langsung di-booking olehku yang ngacir sembarangan--demi tante-eyang tentunya.

Kereta berangkat kembali menuju stasiun terdekat dari rumah tante-eyang.

Totebag berisi jeli sedari tadi kuintip isinya, meski aku tahu kalau kotak di dalamnya masih tersegel. Tante-eyang tersenyum geli melihatku tidak sabar untuk membuka, memakan, dan memberikan beberapa biji kepada Kita dan neneknya.

Setengah perjalanan, ponsel dari sakuku bergetar. Layar menunjukkan panggilan masuk dari seseorang.

"Kaa-san, bapak nelpon," bisikku, kemudian menekan tombol untuk menerima panggilan.

"Otou-san, konni-jiwaaa! Sudah mirip belum, Pak, sama Youtuber kesukaan Bapak? ... Ini aku lagi di kereta, Pak, makanya bicaranya bisik-bisik. ... Habis dari Hime--eh, eh, Kaa-san!?"

Mama menarik ponsel dari genggamanku, beranjak dari kursi menuju tiang terdekat dari pintu. Ketika akan beranjak, tante-eyang menghalauku untuk tidak mengejar. Kami sempat bertatapan tajam, namun akhirnya aku mengalah karena takut.

Lima belas menit berlalu, pengumuman bahwa kereta akan tiba sudah diperdengarkan. Ketika itu juga, mama kembali ke tempat duduk dengan ponselku, yang sudah putus koneksinya dengan bapak, tentu saja. Mama asyik sekali mengobrol dengan bapak dengan ponselku, sampai lupa bahwa aku yang diteleponnya terlebih dahulu.

Orang-orang segera berkerumun ke arah pintu keluar. Mama menggenggam lenganku, lagi, mengajakku dan tante-eyang berdiri bersiap-siap.

Kereta berhenti, pintu terbuka, lautan manusia dari kereta terburu-buru keluar.

Di luar stasiun, taksi berjajar menyediakan jasa. Mama mulai bernegosiasi harga kepada salah satu pengemudi. Tak lama, kami sudah di dalam taksi menuju rumah. Selama perjalanan, dengan iseng aku mencari kontak bapak untuk mencoba meneleponnya kembali, meski sebelumnya beliaulah yang menelepon. 

Sayangnya, aku tidak lagi bisa menemukan kontak bapak, nomor telepon rumah, bahkan nomor kantor kerja bapak dalam ponsel. 

Freezing Holiday || Kita Shinsuke x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang