9 - Rubah (2)

505 84 9
                                    

"[Surname]-chan tahu tidak?"

"Apa?"

"Tiap kali kita bermain salju dan berbaring di atasnya, kamu pasti terlelap!"



"Bapak!"

Suara kendaraan riuh rendah mengisi jalan perkotaan. Rumah yang terletak di gang yang lumayan jauh dari jalan utama terasa ramai. Pria paruh baya yang mengenakan setelan rapi menoleh ke bawah, lebih tepatnya ke arahku setelah terpanggil.

"Pulang jam berapa, Pak, hari ini?"

Sosok di depanku berjongkok, memberikan dua keping lima ratus perunggu, lalu menjawab, "Besok sore Bapak sudah kembali."

"Kok besok?" Aku mencibir. Mama dari ujung ruangan mendeham.

"Kan, tadi malam Bapak cerita kalau mau dinas hari ini. Cepat sekali kau lupa, [Name]."

Aku terkekeh pelan, sembari itu tangan besar hinggap di kepalaku. "Nanti Bapak bawakan oleh-oleh, ya?" 

Sehari tanpa bapak berlalu dengan lambat. Seharian aku hanya duduk di pojokkan menghadap ke jendela daripada mengikuti guru dan teman-teman bermain. Saat istirahat pula, biasanya kami bermain perosotan dan ayunan sampai satu-dua dari kami terjatuh, namun hari itu aku hanya termenung di teras kelas, memperhatikan barisan di atas perosotan, anak-anak berkejar-kejaran, buat istana pasir, dan lainnya.

"Kamu hari ini kenapa, [Name]? Sakit?" tanya salah seorang teman ketika makan siang melingkar di karpet kelas.

"Bapak pergi. Aku lagi gak nafsu ngapa-ngapain."

"Kan, bisa kamu SMS?"

"Mama belum mengijinkanku pegang Nokia punya beliau."

"Wartel, kan ada. Mau kutemani nanti siang? Ada satu, kan, di depan sekolah?"

Aku melengos, "Gak bawa uang aku. Kan, bawanya bekal terus."

"Ai, [Name]..."


Kota tempat tinggalku bukanlah kota-kota besar. Tidak banyak yang bisa ditemukan di sini. Yang paling keren hanyalah alun-alun car free day  yang sepekan sekali kukunjungi. Aku besar di sini, kira-kira sampai usia 5 tahun, sebelum mama memutuskan untuk pindah tanpa kuketahui alasan jelasnya.

"[Name], barang-barangmu sudah siap?"

Tidak banyak yang mama bawa, malah seperti hanya bepergian sebentar dari rumah. Aku tidak begitu melihat ekspresi yang bapak tunjukkan, hanya ucapan, "Hati-hati." Lalu kami pergi sangat jauh dari kota kecil itu.

Kami pindah ke sebuah desa di pegunungan. Hawa dingin menusuk tulang tiap kali aku membuka jendela kamar. Semua terasa berbeda, mulai dari makanan, sosial, serta bahasa yang mereka gunakan.

"[Name] beri salam ke Obaa-san." Aku tidak bereaksi ketika baru tiba di rumah di pegunungan itu, yang dihuni seorang wanita tua. Wajahnya terlihat tua, namun aku tidak begitu yakin karena fisiknya masih bugar.

Beliau berbicara dengan bahasa yang tidak kupahami kepada mama. Tiap kali aku membuka mulut, tidak ada suara yang keluar karena takut aku salah ucap. Mama sepertinya kenal baik dengan wanita tersebut. Kami dipersilakan masuk dan menempati kamar yang ada.

"[Name], ayo ke luar, ke taman bermain," ajak mama dengan semangat, beberapa hari setelah tiba di rumah obaa-san. Aku melonjak kaget di atas futon.

Freezing Holiday || Kita Shinsuke x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang