8 - Rubah (1)

571 93 4
                                    




Apa dulu aku pernah memahami yang kini tidak kupahami?

"Mama!"

"Hati-hati  [Name] jalanan licin kalau sedang musim salju!"

Apa aku sudah melupakan sesuatu?

"Bapak di mana, Ma?"

"Beliau tidak ikut lagi, [Name]. Kan Bapak sudah bilang sebelum kita berangkat kemarin."

Apa semuanya selalu sedingin ini? 

Aku membuka mata. Kedua tanganku terpasang sarung tangan tebal--glove. Rasanya pakaian yang kupakai juga lebih tebal dari biasanya, dan apa ini? Kacamata ski?

"[Surname]-chan!"

Siapa?

"Jangan melamun! Nanti kita jatuh!"

Aku menoleh ke sumber suara. Sosok bocah yang berpakaian tidak jauh beda dariku. Tangannya menggenggam erat pegangan besi di depannya. Baru kusadari juga aku dalam posisi duduk menaiki lift ski tidak menapak tanah.

"Shin--"

Tiba-tiba semuanya jatuh. Langit, lift ski, salju, begitupun aku dan bocah di sampingku.

Siang hari yang mendung, aku berdiri di tengah jalan yang sepi. Tidak begitu familier dengan tempat tersebut, aku memutuskan untuk berdiam diri saja agar tidak tersasar.

"Hei, [Surname]-chan," panggil sebuah suara yang sama seperti sebelumnya. Aku sontak mengerjap mata karena tahu-tahu sosok yang memanggil berdiri persis di depanku. Dekat sekali.

"A-a-apa?" Aku terlonjak ke belakang.

"Jangan melamun, bahaya."

"Kenapa dari tadi kamu menyuruhku untuk tidak melamun, Shin--"

Pipi terasa basah, diikuti beku yang menjalar dalam saraf menuju otak. Dia dalam jarak dekat, menggenggam sesuatu yang membuat kesadaranku terperanjat.

"Au!"

Bocah di hadapanku langsung membuang bongkahan es yang tadinya ia tempelkan ke pipiku.

"Kamu belum sadar, [Surname]-chan. Ayo ke rumahku. Nenek dan Bibi [Surname] pasti sudah menunggu."

Sarung tangannya yang basah menggenggam lengan mantelku. Kami berlari ke halaman sebuah rumah, dan semuanya pecah menjadi kepingan mikro. 

Dalam sebuah ruang, aku mengambang. Baju pinjaman Kita, celana training neneknya, bahkan kaus kaki olahraga masih lengkap kukenakan di ruang antah berantah ini. Hanya ruang hampa kosong, hitam pekat. Berterbangan di sekitarku cahaya putih bak kunang-kunang yang mungil. Tidak ada definisi atas dan bawah. Sampai semuanya kembali terang dan mataku mengerjap pelan. Cahaya lampu menyambut panca indra. Terbaring di kasur dengan posisi berbeda dari sebelum tidur.

Sudah pagi, kah?

Tamparan keras menyambut pipi yang sebelumnya sudah dihadiahi es.

"Oi?!--" Aku menahan napas. Bocah itu kembali muncul, kali ini di sisi kasur tempat kuberbaring. 

"Nanti kita terlambat."

Suara datar oleh anak kecil memecah hening. Almari di seberang yang memiliki kaca di daun pintunya memantulkan cerminan kami berdua. Aku, berwajah gembul dan memakai daster panjang.

Freezing Holiday || Kita Shinsuke x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang