14 - Membaca Pikiran

438 66 7
                                    



Apa sopan bertanya tentang ayah [Name]? 

"Jadi..." Detak jantungku mulai berdebar lebih kencang. Aku tidak ingin dianggap lancang oleh Bibi [Surname] dengan pertanyaan yang jawabannya lebih personal. Siapa juga yang menginginkan ditanyai "bagaimana kabar orang ini?" padahal orang yang ditanya sedang tidak bersama mereka?

Beberapa detik menjeda, akhirnya aku bertanya, "[Name] tidak akan ke Tokyo?"

"Ada apa di Tokyo, Nak Kita?"

"Tim voli sekolah kami akan bertanding di tingkat nasional Januari nanti. Tapi sepertinya Bibi dan [Name] sudah pulang duluan jadi aku tidak memberitahu [Name] sama sekali."

"Sepertinya tidak. Tapi nanti kau bisa kirim foto-fotomu lewat media sosial. Aku tahu kau memiliki akun-nya [Name]," goda Bibi [Surname], namun tidak kutampik.

Pada akhirnya, mulutku tidak berani menanyakan hal yang berhuhubungan tentang ayah [Name].


[Name]'s: 
Dua orang itu (Mama dan Shinsuke), kalau tidak ada aku pasti bicaranya pakai bahasa Jepang. Bikin kesal saja. Semacam sok rahasia, tapi kenyataannya juga Shinsuke tidak bisa menggunakan bahasaku. Kenapa tidak bahasa Inggris saja agar lebih "universal"?

Hakko ichiu.

Bercanda.

Apa kedua orang itu tengah membicarakanku? Suaranya hampir tidak terdengar. Kupikir suara orang Hyogo keras-keras seperti di gym kemarin. Aku matikan keran lalu mengisi ulang wadah sabun dengan semacam Mama Lemon tapi bukan Mama Lemon (soalnya warna sabunnya kuning kental) sambil berusaha memfokuskan telinga untuk mendengar pembicaraan meski sama sekali tidak paham. Barangkali ketahuan mereka menyebut namaku agar aku bisa bilang kalau mereka berdua sedang membicarakanku.

Apa jangan-jangan... Shinsuke sedang mencari tahu sesuatu tentang bapak? Atau tentangku dulu? Memikirkan itu membuat tanganku berhenti sejenak.

Tidak, tidak mungkin dia berani.

Sumpit yang kupegang kembali kuusap-usap dengan spons berbusa. Setelah tiga pasang sumpit kucuci, semua alat kubilas dengan air dengan telaten. Bahkan sampai kuletakkan alat-alat makan di rak pengering di sebelah wastafel, suara dua orang itu masih tidak terdengar, atau aku yang budek?

Kalau benar Shinsuke mencari tahu tentang bapak, aku harus menahan diri dan membiarkan mereka berdua lebih lama. Lagipula aku tidak perlu berada di antara mereka, toh aku juga tidak paham apapun. Namun kalau harus keluar dari ruangan ini, aku harus berpapasan dengan keduanya dan malah mengganggu.

Kulepas celemek kemudian bersandar di sisi dinding yang agak jauh ke dalam agar tidak tampak dari ruang makan. Ponsel kubuka, tentu saja tidak ada pesan masuk. Karena sedang menggunakan nomor Jepang, tidak satupun temanku tahu. Yah, jika aku benar punya teman. Homeschool tempat aku bersekolah hanya memiliki 10 siswa, kebanyakan dari mereka masih SD dan SMP tingkat awal, tentunya belum memiliki ponsel. Sepertinya hanya aku yang SMA, tua sekali ternyata aku.

Sambil menatap kolom pesan yang kosong, ingatanku kembali ke beberapa hari yang lalu sepulang dari Himeji. Meski tidak begitu kupikirkan lagi insiden mama menghapus kontak bapak dari ponselku, pertanyaan baru muncul. Ada apa dengan hubungan mama dan bapak?

Layar ponselku kini menunjukkan daftar kontak yang kumiliki. Tidak banyak, hanya ada beberapa tetanggaku di Indonesia, beberapa kerabat dekat dari pihak bapak, mama, dan Shinsuke.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Freezing Holiday || Kita Shinsuke x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang