Dua puluh satu

9.6K 542 28
                                    

Begitu menginjakkan kaki di rumah keluarga Brawijaya, gue langsung disambut sama kehangatan mereka terutama mama.

"baru aja tadi bahas tentang kalian eh sekarang orangnya udah nongol"ujar papa sambil mempersilahkan kami untuk duduk.

"pantes tadi Nizara keselek tabung gas"ujar Aryan dan langsung mendapat cubitan dari gue tepat di perut sehingga lelaki itu meringis.di depan ortu gini gak bisa apa bar barnya ditahan dulu.

"mentang mentang pengantin baru hobinya cubit cubitan"sahut Wira sambil menyuapkan rengginang ke mulutnya. Posisinya kali ini yaitu duduk di atas sofa dengan kaki kanan di tekuk, persis kek orang orang yang lagi makan di warteg.

"emangnya kamu yang cuma bisa cubit cubitan sama bantal "sahut mama yang tentu diacuhkan oleh Wira.

Aryan menyerahkan makanan yang kami beli tadi pada mama, makanan andalan buat mertua yaitu martabak.

"biar gue aja, yan"gue berbisik pada Aryan. Mengambil alih martabak itu dan membawanya ke dapur untuk selanjutnya disalin ke piring. Masa iya mama yang nyalin, kan gak sopan banget gue.

Gue mengambil sebuah piring yang terdapat di dalam lemari lalu meletakkan martabak itu di atasnya.

"ra"panggil Aryan dari arah samping gue, lelaki itu tengah membuka kulkas.

"hm ?"

"ra"

"iya ?"

"ra"

"apasih Panjul ?!"kini gue mengalihkan tatapan ke arah Aryan yang sejak tadi gak gue lihat sedikit pun.

"lo yang apaan, orang gue pengen nyanyi. Rampampam pam pam " lelaki itu menyanyikan lagu beraliran kpop yang lagi terkenal.

"lama lama gue retakin nih ginjal lo".

"galak amat sih mbak kek ayam jantan habis lahiran".

"gak jelas lo".

Gue berjalan kembali ke arah ruang tamu dan membawa sepiring martabak itu, sementara Aryan menyusul di belakang gue dengan tangan mengenggam sekotak susu rasa coklat. Padahal baru aja tadi minum Choco Cheese, demen amat sama yang berbau cokelat.

Begitu martabaknya gue letakin di atas meja maka secepat kilat tangan Wira menyambar makanan itu.

"gak sopan banget sih kamu, pakai sambar gitu"sahut papa sambil menggetok tangan Wira menggunakan koran yang digulung.

"eh punten akang, teteh, abdi mau ambil martabaknya"Wira berujar dengan sok sopan banget, gak terbiasa deh gue liat dia yang biasanya blangsak jadi mendadak sopan gini.

Kini kami semua kembali fokus pada berita yang ditayangkan di televisi dengan tangan yang sesekali mencomot makanan, kecuali Wira yang mencomotnya berkali kali. Heran gue, badan kecil tapi porsi makannya tuh cukup untuk se RT.

Berita yang ditayangkan yaitu tentang  gugurnya seorang Perwira saat menjalankan tugasnya di Papua. Gue menoleh ke arah Aryan, tiba tiba aja hati gue kerasa kayak diremukkan. Muncul seberkas bayangan jika Aryan yang berada di sana.

Apakah memang semua abdi negara itu hidupnya akan berakhir di medan perang atau bertugas seperti itu ?

Gue langsung memejamkan mata seketika, bahkan untuk membayangkannya saja gue gak sanggup.

"ya Allah, kasihan banget sama keluarga yang ditinggalkan"ujar mama tiba tiba.

"ya itu konsekuensi seorang tentara, pulang bertugas membawa suka cita atau justru hanya tinggal nama".balas Wira dengan mulut yang dipenuhi oleh makanan.

The Husband Chosen by DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang