10

1.1K 61 2
                                    

Arkasa menyerahkan kantong plastik pada Liana. Gadis itu membukanya dan ada obat luka di sana.
"Bagian tubuh aku yang luka gak bisa di obatin pake ini," ucap Liana, sambil meletakan plastik ke dashboard mobil dinas Arkasa. Memang Arkasa tidak menggunakan mobil pribadinya, dia tidak sempat ganti mobil karena Cakra menyuruhnya cepat padahal dia bisa ganti baju.

Sekali tarikan training Liana naik sampai ke lutut, Arkasa yang menariknya dan terlihat memar di sana. "Wanita tidak boleh memiliki bekas luka," ucapnya lalu menyerahkan lagi plastik obat yang di belinya.

Liana menatap Arkasa dengan heran, untuk apa laki laki itu peduli padanya kalau dia sendiri tidak akan memberikan harapan pada Liana.
"Kapt, aku punya sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan." Dasar gadis itu, sesuka hati memanggil Arkasa, terkadang komandan, kapten, dan lain lain dan Arkasa terlihat tidak terganggu.
Tampak Arkasa yang tidak peduli.

"Ini masalah Erina dan dokter Bryan." Barulah Arkasa menoleh.

"Aku tau kok, Kapten suka sama cewe kaku itu. Tapi menurut penelitian aku, cowo kaku sama cewe kaku itu gak cocok. Tapi terserah deh. Pokoknya aku mau sama dokter Bryan. Gimana kalau Kapten jaga tuh Erina biar gak dekat dekat sama dokter Bryan," ucap Liana dengan nada kesal.

"Harusnya saya yang bilang ke kamu, agar Bryan tidak mendekati Erina." Arkasa terlihat kesal karena merasa Liana merendahkan Erina.

"Enak aja, semenjak Erina datang, dokter Bryan jadi berubah tau gak," protes Liana.

"Baiklah, saya akan menjaga Erina dan kamu harus menjauhkan Bryan dari Erina, tapi jangan membuat orang yang kita suka jadi sakit." Kesepakatan akhir terbentuk. Liana menyetujui kesimpulan yang Arkasa berikan.

"Makasih obatnya, Kapt." Liana berjalan pulang, tentu saja dia tidak berharap di antar oleh Arkasa. Satu harapan yang berujung pahit yaitu berharap Bryan meninggalkan Erina untuk mengantarnya Liana pulang, itu mustahil.

Liana merasa tidak nyaman dengan perlakuan Bryan terhadap Erina, alhasil gadis itu menebak bahwa gadis pujaan hati Bryan itu adalah Erina. Namun Liana tidak mendapati ciri ciri yang sering sebut, tersenyum manis, riang, penyayang dan menggemaskan. Dari mana Bryan menilai itu kalau yang Liana lihat hanya kekakuan dari Erina.

Benar kata orang, pandangan laki laki dan perempuan memang beda. Liana berjalan tanpa memperdulikan kakinya yang terluka karena menabrak kursi tadi, bahkan Liana tidak menyangka kalau lututnya akan terluka hanya dengan benturan kecil seperti itu.

"Dari mana kamu?" Saat Liana memasuki rumah sudah di sambut oleh Papanya.

"Dari makan di sana tuh Pa, diajak Cakra," ucap Liana seadanya. Papanya sudah biasa kalau Liana tidak pernah memanggil Cakra dengan sebutan kakak.

Asal kalian tahu, semua masalah berakar pada Cakra. Laki laki itu terlalu sibuk bermain dengan wanita sedangkan orang tua mereka sudah ingin menimang cucu. Maka Liana lah yang di korbankan karena Cakra tidak bisa di andalkan. Sudah banyak wanita yang di bawa oleh Cakra ke rumah namun hanya di perkenalkan sebagai teman saja.

"Kaki kamu kenapa?" Papanya melihat celana training Liana yang di gulung hingga di atas lutut itu.

"Nabrak kursi Pa." Liana duduk di samping Papanya yang sedang menonton televisi itu.

"Cerobohnya gak ilang ilang, makanya Papa mau kamu itu ada yang jaga. Setidaknya ada yang bantuin kamu ngobatin luka kamu." Liana menatap Papanya sejenak, seseorang yang dikenalkan pada Liana memang melakukan hal itu pada Liana.

"Udah di obati juga Pa."

Terlihat pak Janardana menyesap kopinya di malam yang sudah mulai larut ini. "Tidur sana kamu. Katanya capek dari RS."

Perkataan pak Janardana terus terngiang di benak Liana. Seseorang yang akan melindungi Liana dan mengobatinya. Terasa begitu mustahil, sejak kecil Liana selalu menjaga dirinya sendiri meski Cakra selalu di belakangnya jika terjadi masalah.

Memikirkan perkataan Papanya dengan menyangkal semua kemungkinan yang akan terjadi. Semua keinginan Papanya ada pada Arkasa, dan Liana menyangkal itu berkali kali.
Gadis itu baru bisa terlelap saat jarum pendek menunjukan angka 3 di pagi hari.

---

Pagi itu hari libur, Liana biasanya menghabiskan setengah harinya di tempat tidur  atau me time. Namun kali ini Liana harus terjebak di pekarangan rumahnya bersama ibu.
Ibunya bilang kalau wanita harus pandai merawat bunga agar rumahnya tidak gersang nanti. Kalau pun nanti memiliki tukang kebun tapi setidaknya Liana harus tau cara yang benar untuk menanam bunga.

"Kalau rumah kamu nanti banyak bunganya kan bagus di lihat," kata bu Malaya.

"Nanti kebanyakan bunga udah kayak kuburan, Ma," ucap Liana malas malasan. Dia sedang mengisi pot dengan tanah dan pupuk.

"Kamu kalau di bilangin ngeyel terus. Hidupin kran air sana." Perintah ibunya. Gadis itu berjalan ke arah kran air di pekarangan rumahnya untuk menyambungkan selang dan kran air.

"Kamu sama Arkasa udah sampe mana pendekatannya?" Bu Malaya terlihat antusias menanyakan perkembangan hubungan anak gadisnya dengan Arkasa.

"Gak ada yang spesial. Gak ada yang karet 2 Ma. Aku gak suka dia, dia gak suka aku. Terus hubungan apa yang mau di harapkan kalau gini," ucap Liana jujur, dia berharap mendapat dukungan untuk mengakhiri ikatan konyol ini.

"Kamu gimana sih, ya kamu tumbuhkan rasa suka. Siram terus, pupuk terus rasa kamu." Bu Malaya terlihat kesal dengan jawaban sang anak gadisnya.

"Kalau aku sendiri yang suka. Itu lebih sakit Ma. Mama mau anak Mama sakit hati." Tak kalah kesal. Liana sudah terbiasa memilih pilihannya sendiri, tidak di arahkan seperti ini.

"Mama gak mau tau ya Li. Arkasa itu menantu idaman seluruh ibu Bhayangkari yang di unit Mama. Kalau kamu sampe gagal sama dia, mau di taruh mana muka Mama." Lagi lagi tentang harga diri dan gengsi orang tua. Liana muak sekali kalau alasannya seperti ini.

"Kalau dia idaman Mama, yaudah Mama aja yang nikah sama dia." Liana mencuci tangannya lalu meninggalkan bu Malaya sendirian di pekarangan rumah.

"Anak kurang ajar kamu Liana." Omelan terus keluar dari mulut bu Malaya untuk anak gadisnya yang paling bontot itu.

Kenapa banyak sekali yang mendukung hubungan mereka, padahal yang menjalani saja sangat menentang. Rasanya Liana ingin pergi saja.

"Li, gue mau keluar ikut kaga lo?" Baru saja duduk di kasurnya, pintu kamar sudah terbuka lagi.

"Kalau ada Arkasa gue gak mau." Gadis itu mengabaikan Cakra lalu kembali tidur di kasur empuknya.

"Arka dihindarin mulu nanti lo kangen gimana..." Ejek Cakra.

"Najis, gue mending kangeni dokter Bryan." Gadis itu segera bangkit dari tidurnya.

"Dasar cewe aneh lo, udah ada pasangan bukannya di syukuri malah masih ngarepin yang kaga jelas." Cakra memberikan petuah yang tak pantas keluar dari mulutnya.

"Yaudah gue ikut, semakin sering gue liat Arkasa gue pasti bakalan muak." Liana segera pergi ke kamar mandi.

"Kalau ketemu pesonanya Arka baru lo klepek klepek Li." Cakra tersenyum sambil menutup pintu kamar gadis itu.

---

Uncontrollable ✅ ComplateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang