13

927 61 3
                                    

Liana berakhir di balik selimut milik Arkasa, aroma maskulin sangat nyaman ini menyeruak mengelilingi tubuh Liana.
Gadis itu tidak bisa tidur karena tidak biasa. Meski nyaman tapi Liana membenci perasaan nyaman ini. Dia takut akan jatuh sendiri.

Tak habis pikir kenapa ibunya memberikan izin untuk tidur di rumah Arkasa ini sudah tidak benar.
Jarum pendek sudah menunjukan angka 2 lebih setengah jam, artinya waktu tidurnya berkurang, padahal dia ingin tidur yang enak. Meski di sini juga nyaman.

Knop pintu seperti akan di buka, Liana buru buru memejamkan matanya. Sorot cahaya lampu masuk dari celah pintu yang terbuka. Gadis itu tak sepenuhnya terpejam, dia terlalu waspada.
Arkasa memasuki kamarnya sendiri, dia berjalan ke sudut kanan ruangan. Ternyata dia mengambil sajadah di sana lalu keluar tanpa melihat Liana.

Setelah pintu tertutup Liana duduk dan menatap pintu yang tertutup rapat itu. Sialan Arkasa kenapa dia begitu sempurna, pantas saja orangtuanya sangat bertekad untuk menjodohkan mereka. Tak banyak laki laki muda yang mau bangun di sepertiga malam seperti ini untuk bersujud di hadapan sang kuasa.

Liana mengabaikan opsi opsi yang muncul dalam pikirannya dia lebih memilih untuk tidur, meskipun besok dia mendapat jam siang.

Begitu membuka matanya Liana merasa malu, apa lagi ini rumah orang bukan rumahnya. Sudah jam 8 dan dirinya baru membuka mata. Apa tidak ada yang berniat membangunkannya.
"Tante." Seorang bocah menghampiri Liana yang sedang merapikan tempat tidur Arkasa.

"Kenapa Ron?" Liana duduk di tempat tidur. Baru pertama kali bertemu saja Liana merasa dekat dengan Ronald meski awal pertemuan mereka kurang menyenangkan.

"Tadi om Arka udah pergi. Jadi Ronald gak ada temen." Ronal berdiri di hadapan Liana.

"Yaudah sini main sama aku aja." Liana tersenyum ketika melihat wajah Ronald yang berbinar.

Liana dan Ronald keluar dari kamar Arkasa, mereka terlihat berbincang bincang.
"Di rumah Ron, ada banyak mainan, Tan. Tapi kata Daddy gak boleh di bawa. Nanti beli aja di sini." Belakangan Liana paham kalau Sahi sangat berbeda dari Arkasa yang sederhana. Sahi terlalu hedon, royal tidak masalah selama dia punya uang. Apa Arkasa bukan saudara kandung Sahi, mereka sangat berbeda yang sama hanyalah tingkat ketampanan saja. Meskipun lebih tampan Arka.

Ketika sedang asyik bermain dengan Ronald, Liana melihat tante Celin pintu kamar Arkasa, yang sengaja tidak di tutup oleh Liana. "Ron, sarapan dulu. Tante nya biar mandi dulu," ucap sang nenek pada cucunya itu.

"Gamau, Ron mau sama kak Liana aja." Ron terlihat nyaman bersama Liana.

"Kok kakak sih. Liana itu calon nya om Arka, kamu panggilnya tante," ucap bu Celin.

"Gapapa Tan, aku jadi lebih muda," ucap Liana sambil terkekeh.

"Iya, kak Liana bukan calonnya om Arka. Masa kalau istri gak tidur bareng. Om Arka malah tidur di kamar Ron. Jadinya kan tempat tidur Ron sempit." Liana menatap Ronald tidak percaya. Anak ini kemana mengatakan hal seperti itu.

"Cocoknya kak Liana itu jadi istri Ron." Tambah bocah itu. Liana tertawa mendengar Ronald berkata seperti itu.

"Udah buat ceritanya Ron?" Joanne menghampiri  anaknya itu sambil menggodanya.

"No Mom, this is my wife. Right?" Setelah berbicara pada Joanne, Ronald menatap Liana.
Gadis itu hanya mengangguk agar permasalahan ini cepat selesai.

Ternyata Ronald bocah cerewet, ceria, hiperaktif dan juga nakal, baru saja dia menumpahkan susu di karpet bulu import milik neneknya. Sekarang dia mendapat wejangan dari Joanne.

Menurut pak Wiratama, kakek dari Ronald itu, sengaja mendapuk Liana sebagai calon menantunya karena dia ingin anak laki lakinya menikahi gadis pribumi saja. Mungkin dia sudah biasa melihat gadis bule seperti istrinya, bu Celin atau menantunya, Joanne. Tak hanya itu banyak kreteria menantu idamannya yang ada pada Liana, begitu juga menurut bu Celin.

"Liana, kamu makan dulu sana. Mama udah masak." Dengan sebutan Mama itu membuat Liana merasa tak nyaman. Dia bahkan telah di terima di keluarga ini, namun dirinya sendiri belum terima kalau dirinya masuk ke keluarga ini. Melihat list prilakunya dan rencana yang telah di buat dengan Arkasa.

"Iya, Tan." Liana hanya mengangguk. Dia kembali di ganggu oleh Ronald.

"Kak, main ke belakang yuk. Nenek punya kolam yang besar. Kita bisa berenang bareng." Ronald menarik Liana agar gadis itu mengikutinya.

"Jangan kelamaan Ron!" Seru Joanne yang baru selesai mengoleskan selai pada sandwitch yang akan di bawakannya ke kantor Sahi. Karena laki laki itu berpesan untuk mengantarkan makan siang untuknya.

Ronald membuka bajunya dan menyisakan boxer, bocah itu terlihat lihai dalam olah raga renang ini.
"Kak ayo masuk ke air, gak dingin kok," ucap Ronald sambil memercikan air pada Liana.

"Jangan Ron, kakak gak bawa baju. Nanti kalau kakak basah terus sakit gimana," ucap Liana lembut. Terlihat Ronald cemberut lalu bocah itu kembali berenang.

"Kakak kan dokter. Masa sakit sih," ucap Ronald kembali menghampiri Liana di tepi kolam. Rasanya sedikit nyelekit saat Ronald bilang dirinya dokter. Karena sebagai seorang koas Liana belum bisa di panggil dokter karena belum banyak pengalaman, tapi sudah mendapat gelar sarjana kedokteran.

Liana tersenyum sambil mengelus rambut basah milik Ronald. "Bisa dong. Kan dokter juga manusia." Liana terkaget ketika mendapati tembakan air membasahi bajunya.

Bocah itu memang tidak bisa di beri tahu, Liana lalai dan ikut terjun ke dalam dunia Ronald yang penuh dengan main dan menyenangkan, bebannya terasa sedikit berkurang akibat bocah ini.

Meskipun nakal Ronald cukup menghibur dirinya dengan tawa tulus bocah seumurannya. Sepintas di benak Liana ingin jadi dokter anak saja. Tapi melihat tingkah Ronald tadi pagi dirinya mungkin saja bisa stress berat berkat bocah bocah ini.

"Ron... Come on, stop it." Joanne yang lembut namun tegas itu menjadi pawang tersendiri untuk Ronald.

"Yes Mom." Bocah itu langsung menghampiri Joanne yang membawa handuk.

"Liana, kamu ganti baju aku aja." Tawar Joanne.

"Iya kak." Sesekali menjadi adik yang penurut mungkin bagus.

Setelah Liana mengganti baju, gadis itu harus pergi ke rumah sakit karena memang sudah waktunya dia ganti berjaga. Bu Celin pergi untuk pertemuan Bhayangkari di kelompoknya, tentunya ada ibunya Liana di sana, maka dari itu Liana langsung pergi ke RS. Sebelumnya dia harus bergulat dulu dengan Ronald karena bocah itu tidak mau di tinggal oleh Liana.

Kalau saja dia sudah jadi dokter resmi mungkin dia akan membawa Ronald. Namun menjadi koas artinya tidak bebas, harus menggejar residen atau dokter pembimbing. Yang ada anak orang akan terlantar atau lebih parah hilang di tengah kesibukan rumah sakit.
Makanya Liana tidak mau mengajak Ronald. Mungkin nanti kalau dia sudah jadi dokter.

Liana menghampiri Miko yang baru sampai. "Muka lo kok gak glowing gitu. Biasanya juga silau gue." Tegur Miko.

"Di tegur bu Mina." Tidak mungkin kan Liana mengatakan yang sebenernya kalau dia tidak membawa make up, karena tidur di rumah Arkasa.

"Bu residen itu?" Liana mengangguki pertanyaan Miko, memang sih residen itu pernah menyindir teman teman Liana yang memakai make up berlebihan. Kalau Liana sebenarnya tidak seperti yang Miko katakan tadi, hanya saja hari ini dia terlihat kusam.

"Belakangan gue perhatiin lo kok jarang banget nempel sama dokter Bryan lagi? Di tolak sebelum menyatakan perasaan lo?" Goda Miko, memang selain Ziu dan Jayline, Miko sangat tau perjuangan Liana untuk mendapatkan hati Bryan, namun hasilnya masih kosong.

"Enggak ya, gue cuma ngetes jauhin dia aja. Mana tau dia ke carian gue, kan gue ngangenin." Seolah senyum terbentuk di bibir Miko, sangat miris pikirnya.

"Sama gue aja udah lo," ucap Miko serius. Liana menatap Miko ragu, lalu gadis itu tertawa puas.

----

Uncontrollable ✅ ComplateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang