05

1.1K 70 5
                                    

Liana tak punya pilihan selain kembali ke rumah sakit. Meskipun sudah malam gadis itu agaknya lebih tenang kalau tidur di rumah sakit saja dari pada harus teringat dengan masalah masalah perjodohan gila itu. Siapa coba yang mau dijodohkan di jaman modern ini. Bahkan Liana belum memulai karirnya.

Gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran di samping mobil hitam mengkilap yang elegan, tentu gadis itu tahu siapa pemilik mobil ini. Ayolah dia adalah pewaris tahta rumah sakit ini nanti, Bryan. Rasanya ingin memeluk Bryan kalau bertemu tapi Liana ingat, kalau mereka bukan siapa siapa.
Setidaknya mengganggu Bryan malam ini bisa menaikan moodnya.

Rumah sakit ini jadi banyak sekali tentara berlalu lalang walau sudah dini hari, itu semua karena Erina Gabriella Wiyoko. Mendengar namanya saja membuat Liana kesal. Wanita itu sudah mengospeknya habis habisan meskipun hanya melakukan sedikit kesalahan. Liana masih ingat saat Erina menyuruhnya berjoget ala bebek karena hukuman belum lagi harus jalan jongkok untuk kembali ke barisan. Kalau saja Liana laporkan pada papanya mungkin Erina bisa di proses.

"Jayline, lo liat dokter Bryan kaga?" tanya Liana saat tiba di ruangan koass.
Hampir saja Jayline terjungkal karena melihat Liana yang datang tanpa mengetuk pintu.

"Anjir, ngagetin gue aja lo!" seru Jayline, gadis itu memegang dadanya yang terpacu.

"Ya maap," ucap Liana lalu tidur di ranjang tingkat yang biasa di pakai koass saat jaga malam.

"Kok balik lagi lo? Bukanya lo gak jaga malam," ucap Jayline. Gadis itu sedang membaca buku tebal kedokteran yang sangat menarik.

"Empet gue di rumah. Entah apa yang merasuki orang orang di rumah. Btw pertanyaan gue tadi belom lo jawab," protes Liana.

"Ya mana gue tau. Emang gue emaknya dokter Bryan. Eh tapi gue liat dia pergi ke atas. Ke ruang VIP kali." Cuek Jayline gadis itu sepertinya malas untuk bicara, dia mau memusatkan pikiran agar yang di bacanya masuk ke otak. Liana terdiam sejenak, dini hari seperti ini Bryan dengan suka rela disana, oh apa dunia ini sudah tidak waras.

Sedikit berpikir untuk ke sana gadis itu langsung bertindak, Liana bergerak menuju ke lantai 6 dimana ruang VIP terjajar rapi, bersih, wangi dan elit. Hanya orang berkantong tebal yang dapat merasakan ruang rawat rasa hotel ini. Tak lupa Liana meminjam sneli Jaera agar menjadi alasan kalau dirinya sedang jaga malam.

Setelah mendapat informasi dari beberapa suster, Liana menghampiri ruang VIP bernomor 04 itu. Gadis itu perlahan membuka pintu dan terlihat pula seorang pasien di temani 2 orang pria dengan seragam yang berbeda. Semua mata tertuju padanya, gadis itu dibuat salah tingkah. Coba saja dia mempunyai alasan kuat untuk masuk ke ruangan ini.

"Maaf, saya ganggu ya?" Meski sudah tahu mengganggu tapi gadis itu masih menggunakan tata krama.

"Tidak. Oh ya. Kamu masih mengingat dia, kan? Dia adik kelas mu yang sering kamu hukum saat ospek. Kamu pasti tidak menyangka gadis itu kini sudah menjadi koass. Dia yang membantuku menangani operasimu." Bryan mencoba mencairkan suasana dengan memperkenalkan Liana.

"Ternyata dunia ini sempit, ya! Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi. Memuakkan." Erina melihat gadis yang berdiri di depan pintu itu dari atas hingga bawah.

"Woah.. Benar-benar ya kakak satu ini. Udah ditolong bukannya terimakasih malah gak tau diri. Nyesel gue nyelametin lu tadi." Liana geram dengan Erina yang ternyata benar-benar tidak berubah dari dulu. Dia masih saja jadi gadis penindas yang tak punya saringan untuk menyaring kata-kata sarkas dari mulutnya.

"Hh.. Kalau aku tau kamu yang akan mengoperasiku, aku pasti menolaknya," ucap Erina.

Sesuatu di hati Liana bergejolak ingin membalas ucapan Erina namun Bryan memberi kode agar tidak melanjutkan perdebatan ini. Ingat! Erina saat ini adalah pasien.

Liana lebih memilih untuk menutup pintu ruang VIP yang terlihat menyeramkan itu. Wanita di sana itu pasti akan menjadi penghalang terbesar Liana untuk mendapatkan Bryan. Apa dia terima saja perjodohan konyol itu.

----

Pagi itu Liana memang sudah ada di rumah sakit karena dirinya tidak pulang. Bukannya merasa lega malah di sini Liana semakin di rundung masalah.
"Li, lo di panggil dokter Bryan," ucap Ziu yang baru datang dan meletakan tasnya jinjing nya.

Di panggil dokter Bryan itu ada banyak kemungkinan apa yang di lakukan Liana itu salah. Entah salah di bagian mananya.
Setelah mengetuk pintu terdengar suara mempersilahkan masuk.

Liana duduk setelah mendapat perintah untuk duduk oleh Bryan. "Saya mau ngasih tau kamu tentang jadwal baru kamu. Sepertinya ada perubahan. Saya buat biar kamu sering jadi assisten saya." Bryan menyerahkan kertas pada Liana.

Liana menerima semua arahan Bryan. Hingga pembicaraan mereka melenceng ke arah yang lain. "Kamu tidak boleh bersikap kasar pada pasien seperti itu. Kamu bisa mempermalukan instansi kalau seperti tadi malam."

"Tapi dia yang mulai duluan, dok," protes Liana.

"Meskipun dia yang memulai ini semua tapi tolong jangan seperti itu. Dia sedang berstatus sebagai pasien saat ini. Kalau ingin bertengkar silahkan di luar jam kerja. Kalau seperti ini kamu tidak profesional. Nilai etika kamu bisa berkurang," ucap Bryan.

"Maaf," ucap Liana lirih, memang sih benar apa kata Bryan. Namun wanita itu sudah keterlaluan di awal pertemuan mereka.

"Ingat Li, dia itu di didik keras sama keluarganya. Mungkin cara dia mengekspresikan diri ya seperti itu." Tambah Bryan.

"Kenapa dokter selalu bilang itu dari dulu, dokter suka sama dia. Jangan bersikap baik dan perhatian padaku kalau ternyata dokter sukanya sama cewe lain." Liana bangkit dari duduknya. Dia merasakan bahwa Bryan berada di pihak wanita itu.

Liana mendapat bimbingan bersama dokter Dio hari ini. Dia pergi ke bangsal dan mengikuti dokter Dio untuk memeriksa perkembangan pasien rawat inap. Bersama Miko, Liana terus mencatat serta mendengarkan diagnosa dokter Dio tentang penyakit para pasien.

Rombongan dokter Dio berpas-pasan dengan dokter Bryan. Laki laki itu tersenyum pada Dio. Menanyakan beberapa koass tentang hari ini. Dia juga menyapa Liana serta menanyai apakah Liana sudah makan siang. Namun tak di rasakan ketulusan dari ucapan Bryan malah terkesan menjaga jarak.

Hatinya berdenyut saat menyadari perubahan sikap Bryan. Memang masih baik dan perhatian tapi tidak sepenuhnya untuk Liana. Dulu dia merasa memiliki Bryan meskipun tanpa status.

Siang ini harusnya Liana dapat makan siang pada waktu yang tepat namun di lewatkan. Gadis itu malah menghabiskan waktu untuk duduk di taman sebelah barat rumah sakit. Harusnya dia tidak ke sini karena sepertinya ada beberapa tentara yang Liana sebut antek antek Erina itu. Dia jadi kesal setiap melihat orang orang dengan pakaian loreng.

"Boleh saya duduk di sini." Seorang menghampiri Liana. Dia berdiri tegas di samping Liana.

"Silahkan, tapi saya mau pergi." Liana beranjak dari duduknya dan hendak pergi.

"Maaf sebelumnya, tapi saya minta tolong. Jangan bersikap kasar pada Erina. Tolong rawat dia sampai sembuh," ucap orang itu dan sontak membuat Liana berbalik. Menatap laki laki dengan seragam loreng itu tidak percaya.

Yang benar saja. Apa di dunia ini semua laki laki menyukai Erina sampai sampai dia di kelilingi oleh laki laki yang membela Erina. Bukannya Erina adalah seorang Kowat. Dia bisa kan menjaga dirinya sendiri.

"Maap sebelumnya ya pak Komandan. Tapi cewe anda duluan yang buat saya sakit hati. Kenapa nyalahin saya selalu. Sana bilang sama cewenya bapak kalau dia yang harus ngerubah sikap dia yang ketus itu." Kesal Liana lalu pergi meninggalkan Arkasa yang masih berdiri di sana.

Liana berjanji untuk tidak bertemu lagi dengan Arkasa. Laki laki kaki itu ternyata lebih menyebalkan dari pada yang dia bayangkan.

----

Uncontrollable ✅ ComplateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang