BACA SAMPAI AKHIR GUYS!
MOHON KOREKSINYA!
***
Gerimis membungkus Kota Bandung. Pohon-pohon, rumput, dan atap-atap gedung menjadi basah. Cuaca akhir-akhir ini memang seperti perasaan—tidak bisa diprediksi. Farhan tidak bisa duduk dengan tenang. Selain karena pantatnya terkena penyakit wasir, ia pula sedang gegana—gelisah galau merana.
"Waktu kalian lima belas menit lagi," ucap Bu Nina yang dari tadi mondar-mandir seperti setrika yang sedang dipanasin.
Semua murid hanya mengangguk mafhum. Sedangkan wajah Farhan makin tegang. Ajal sepertinya sudah siap menjemput dia lima belas menit lagi.
"Mati gue! Soal ini kayak hidup gue. Rumit," gerutu Farhan kesal.
"Oke semuanya, kalian kerjakan dengan benar. Jangan nyontek! Untuk ketua murid, pastikan jangan ada yang gaduh dan bikin ribut. Lima belas menit lagi Ibu balik lagi kesini," ujar Bu Nina di ambang pintu. "Apalagi murid yang dipojok itu, jangan biarkan dia berulah lagi." Bu Nina menatap tajam ke arah Farhan.
Farhan mendongak lalu tunduk kembali. Guru-guru menempatkan perhatian lebih kepada Farhan. Bukan karena Farhan istimewa, mereka hanya tidak ingin Farhan berulah—apalagi sampai menggerogoti bangku sekolah.
Bu Nina pun pergi meninggalkan kelas. Entah karena haus atau kebelet BAB, yang pasti hal itu disambut baik oleh Farhan. Dia menghembuskan nafas berat. Dia menatap ke arah lelaki berkulit gelap dengan rambut ikal di sebelahnya, "Bayu, gue nyontek lah."
Lelaki bernama Bayu itu balik menatap, "Apa? Nyontek? Nomer berapa, Han?" Entah polos atau sengaja, suara Bayu sengaja dibesarkannya, membuat seisi kelas menoleh ke arahnya.
Farhan kembali mengerjakan soal-lebih tepatnya pura-pura mengerjakan, "Kampret lu, Bay!" gumam Farhan.
Lima belas pun berlalu. Bu Nina kembali ke kelas, lalu menagih paksa lembar jawaban layaknya seorang debt collector kelas kelurahan. Siapapun yang telat setor, harus siap menerima hukuman. Baik push up lima kali, diberi tugas tambahan, ataupun mindahin patung Pancoran ke Bandung-gak lah, gak sekejam itu juga.
***
Teeet.. Teeeett...
Suara bel istirahat berbunyi dua kali. Semuanya antusias berhamburan keluar kelas. Menyisakan dua anak manusia yang sedang terduduk lesu. Terlihat asap mengepul keluar dari kepala mereka. Kapasitas otak mereka memang dibawah SNI.
"Suee lu, Bay. Masa gue mau nyontek gak lu kasih." Farhan menjiplak jidat Bayu geram.
"Lu sih, udah tahu gak boleh nyontek. Nanti gue ikut-ikutan dihukum sama Bu Nina," elak Bayu.
"Emang lu tadi bisa jawab soalnya? Jangan-jangan lu salin lagi soalnya?"
"Bisa lah, Han. Emangnya lu, perkalian juga lu gak bisa," sahut Bayu tak mau kalah.
Farhan mengangkat alisnya. Jidatnya mengerut seperti kerupuk udang yang disiram kuah bakso, "Gue gak percaya sama lu, Bay. Bahkan IQ lu aja masih lebih rendah daripada IQ simpanse."
"Lambe mu, Han. Gue bisa ngerjain soal tadi karena kemarin gue udah dapet bocoran soal dari kelas sebelah. Gue kerjain dirumah, terus gue inget-inget jawabannya."
"Kenapa lu gak bilang-bilang sama gue, Sueb!" Jitakan mendarat sekali lagi di jidat Bayu. "Emangnya lu doang, gue juga mau, keleus."
Bayu mengusap-usap jidatnya yang mulai benjol kena dua jitakan dari Farhan. "Lu sendiri gak nanya. Inget kata pepatah, enggan bertanya maka tak kenal."
KAMU SEDANG MEMBACA
MATH & YOU [On Going]
Teen FictionBukan tentang badboy si ketua gangster sang primadona berita, bukan tentang cowok dingin yang menjadi rebutan para wanita, bukan tentang artis Korea yang nyasar ke Indonesia; tapi ini adalah sebuah perjalanan menghapus luka. Dua orang manusia yang p...