14 : The Burden of Knowing

246 43 6
                                    

Yerin membuka matanya perlahan, seakan-akan menyadari bahwa dunia di sekitarnya bukanlah sekadar bayang-bayang dari mimpi yang tidak diharapkannya. Sinar lembut matahari yang menembus tirai ruang UKS seolah hendak mengingatkan bahwa kehidupan tidak pernah berhenti, bahkan saat hati kita tengah berkecamuk oleh kepedihan. Namun, cahaya itu, bukannya membawa kehangatan, malah menjadi saksi bisu atas luka yang bersemayam di hatinya. nafasnya tertahan, hatinya bergejolak, mengaduk-aduk ingatan kelam yang baru saja terjadi.

"Apakah ini nyata?" pikir Yerin sejenak. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, mencoba bangkit dari ranjang, namun sebuah tangan yang kokoh namun lembut menahannya, seolah mengerti bahwa dunia di luar ranjang itu terlalu kejam untuk dihadapi saat ini.

"Jangan banyak bergerak, Yerin. Sebaiknya kamu beristirahat dulu," suara itu tenang, namun sarat dengan perhatian yang dalam. Park Jimin, pria dengan sorot mata yang tajam namun menyimpan duka yang tidak terucapkan, berdiri di samping ranjang. Ia menatap Yerin dengan senyum yang tidak sepenuhnya tulus, sebuah senyum yang menyembunyikan perasaan getir di dalamnya, seolah dunia telah mengambil sesuatu yang tidak mungkin dikembalikan.

Yerin memalingkan wajahnya, membelakangi Jimin. Ia tidak sanggup menatap wajah sahabatnya yang penuh kasih, karena hatinya sendiri telah dirobek oleh rasa bersalah yang begitu mendalam. Tangis yang sedari tadi ditahan mulai terasa memberontak, dan meskipun ia mencoba menyembunyikan isakannya, bahunya yang bergetar menjadi saksi bahwa tidak ada yang bisa menahan banjir perasaan itu.

Park Jimin, pria yang telah lama mengenal gadis itu, tahu bahwa tidak ada kata-kata yang dapat meredakan sakit yang ia rasakan. Tangannya terulur, mengusap bahu Yerin dengan lembut, memberikan sentuhan yang ia harap mampu menenangkan gejolak di dalam hati gadis itu. Namun, di kedalaman dirinya, Jimin sendiri turut merasakan luka yang sama—sebuah luka yang tidak terlihat, namun begitu nyata menghantui.

“Aku berharap semua ini hanya sekadar mimpi buruk, Jimin,” suara Yerin bergetar, nyaris tidak terdengar di antara isak tangisnya. “Aku berharap ketika aku bangun, semuanya akan baik-baik saja.”

Kata-kata itu mengambang di udara, seperti awan kelabu yang tidak pernah meninggalkan langit. Jimin tidak menjawab. Kata-kata baginya tidak lagi cukup; hanya diam yang mampu berbicara mewakili kesedihan mereka. Dibenaknya, malam kemarin terputar kembali—malam ketika Yerin memanggilnya dalam tangisan, memohon bantuannya saat dunia seakan runtuh. Dan ia, tanpa berpikir dua kali, membawa Jungkook ke rumah sakit, berharap masih ada keajaiban tersisa di dunia yang terasa hampa ini.

Jimin menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Yerin, aku tahu, kamu merasa terjebak di dalam pusaran kesedihan ini. Tapi percayalah, ada hal-hal yang tidak mampu kita kendalikan. Saat ini, yang terpenting adalah menjaga dirimu terlebih dahulu. Biarkan masalah Taehyung... Hmm... Biar pihak sekolah yang menanganinya. Aku sudah bicara dengan Pak Sihyuk. Kuharap beliau bisa memberikan solusi yang terbaik."

Namun Yerin hanya terdiam, tangannya menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. "Ini semua salahku, Jimin," gumamnya, nyaris seperti sebuah doa yang dipanjatkan dalam keputusasaan. "Kalau saja kemarin Taehyung tidak datang untuk melindungiku... Kalau saja dia tidak berada di tempat itu... Mungkin semua ini tidak akan terjadi. Jungkook tidak akan terluka. Semua akan baik-baik saja."

Suaranya semakin redup, seakan kehabisan tenaga, seperti daun yang perlahan jatuh ditiup angin musim gugur. Jimin hanya bisa menatap gadis itu dengan perasaan teriris, tidak mampu membalas kata-kata tersebut, karena jauh di lubuk hatinya, ia juga merasa ada bagian dari kebenaran di balik penyesalan Yerin.

Shadows of ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang