Epilogue

532 54 1
                                    

Fajar itu menjalar perlahan di ufuk timur, membelah langit dengan semburat cahaya yang tidak terburu, seolah menyingkap tirai malam dengan kelembutan tanpa suara. Matahari memijarkan sinar pertamanya, bukan sebagai penguasa yang mendesak, melainkan sebagai pengasuh yang sabar, menghangatkan bumi dengan sentuhan yang penuh cinta. Yerin terbangun dari tidur yang tidak benar-benar menyelamatkannya dari kepungan ingatan. Jantungnya berdenyut cepat, seakan-akan menyimpan sebuah rahasia yang terperangkap di balik ribuan lapisan waktu. Ia duduk di tepi ranjang, memandang jendela yang diselimuti kabut pagi. Udara dingin merayap masuk, namun menyuguhkan kesegaran, mengisyaratkan bahwa hidup baru menunggu di setiap hembusan. Namun, di kedalaman hatinya, kesunyian tetap berdiri kokoh seperti karang, tidak tersentuh oleh gelombang pagi yang lembut.

Pandangan Yerin terikat pada kalender di dinding. Angka 30 Desember menyala dalam keheningan, seperti tanda yang tidak bisa dihindari. Dua tahun telah berlalu sejak Taehyung pergi, meninggalkan jejak yang tidak pernah pudar di kehidupannya. Kenangan akan senyuman Taehyung melintas, seperti angin yang berhembus, membawa serpihan masa lalu yang tidak bisa dijangkau. Kehangatan yang pernah ada, kini hanya menjadi bayangan samar, namun terasa dekat, seakan waktu tidak pernah benar-benar memisahkan keduanya.

Dengan langkah yang berat, Yerin menuju dapur. Kebiasaan lamanya membimbing tangan yang kini terasa hampa, menyiapkan sarapan untuk dua orang, meski kehadiran itu telah lenyap. Ketika sendok tergenggam di tangannya, sejenak ia terdiam. Ada kekosongan yang tidak bisa disangkal, seperti ruang yang tidak lagi mampu diisi oleh siapapun. "Kenapa aku terus melakukannya?" suara lembutnya terurai seperti embun yang pecah di ujung daun, pertanyaan yang sesungguhnya ditujukan kepada dirinya sendiri—sebuah pencarian makna di balik rutinitas yang kini terasa sia-sia.

Setelah momen panjang yang sunyi, Yerin sadar, hari ini harus berbeda. Ia mengganti pakaian, mengenakan jaket yang akan melindunginya dari dingin, namun tidak mampu melindungi dari dinginnya kenangan. Hari ini, ia bertekad mengunjungi makam Taehyung—tempat di mana kenangan dan cinta yang pernah hidup, kini beristirahat bersama waktu yang telah berlalu. Sebuah perjalanan yang selama ini tertunda, tidak karena jarak, namun karena beratnya rindu yang tidak pernah selesai.

Setiap langkah terasa seolah memikul ribuan kata yang tidak pernah sempat diucapkan. Udara pagi menusuk lembut, namun tidak ada yang benar-benar dingin ketika hati masih menyala oleh cinta yang tidak pernah padam. Langkah Yerin menuju pemakaman adalah sebuah perjalanan batin, menguji setiap inci ketabahan. Dan ketika akhirnya ia tiba di gerbang pemakaman, rasa tenang menyergapnya, seperti pelukan halus dari angin yang berbisik, membawa pesan yang tidak terucap: bahwa hidup, meski terasa rapuh, terus berjalan, tidak peduli berapa banyak jiwa yang hilang di sepanjang jalannya.

Ia berjalan melewati deretan nisan yang diam namun penuh kisah. Setiap batu seolah menyimpan kisah-kisah yang tidak lagi bisa dibacakan, namun tetap hidup dalam keheningan mereka. Di antara semua cerita yang tersembunyi di bawah tanah, Yerin akhirnya tiba di makam Taehyung. Nisan sederhana itu berdiri kokoh di hadapannya, tidak banyak bicara, namun menyimpan segalanya. Ia berlutut, menatap nama Taehyung yang terukir dengan keabadian yang tidak bisa disentuh oleh waktu. Hati Yerin menggetar saat ia mengeluarkan seikat bunga yang telah dipilihnya dengan penuh kasih, seakan tiap kelopaknya adalah untaian doa yang tidak pernah putus. “Selamat pagi, Taehyung,” suaranya lirih, hampir seperti gumaman angin yang berbisik di antara dedaunan. “Hari ini, aku datang untuk merayakan kenangan kita.”

Air mata yang jatuh di pipinya bukan tanda kelemahan, melainkan luapan cinta yang tidak pernah surut oleh waktu. Perlahan, ia meletakkan bunga di atas nisan, seolah menata kembali setiap kenangan yang pernah terserak. “Kamu selalu ada dalam denyut nadiku,” ucapnya lembut, “meski dunia terus berputar, hatiku selalu mencarimu, selalu.”

Shadows of ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang