#2

1.8K 234 80
                                    


"Pulanglah, ini sudah malam," tiba-tiba suara berat mengagetkan Neira.

"Memang Bapak siapa nyuru saya pulang?" tanya Neira menatap mata pekat yang berdiri menjulang di depan kubikelnya.

"Aku yang akan menjadi bos mu secara langsung, mulai bulan depan," suara Dewa mulai meninggi.

Neira berdiri, ke luar dari kubikelnya menengadah menatap mata hitam di hadapannya, sejak bertemu siang tadi dia sudah tak suka pada orang yang mengacaukan kemampuannya, meski ia menginginkan itu sejak lama tapi tanda tanya besar di kepalanya tak juga hilang, siapa laki-laki di depannya ini, yang mempunyai kemampuan sepadan dengannya.

"Bulan depan kan? Dan hari ini Bapak bukan siapa-siapa saya," ujar Neira.

Dewa menunduk menatap wajah wanita di depannya yang menantang menatap wajahnya. Hidungnya yang mancung, alis tebal dan mata yang menatapnya garang, membuat Dewa merasa baru kali ini menatap wajah wanita cantik dengan sempurna.

"Pulang kataku, kau tak tahu..,"

"Tidak, saya tidak akan pulang, asal Bapak tahu, tiga tahun dengan Pak Ridwan beliau sekalipun tak pernah membentak saya, Bapak baru sehari sudah seenaknya pada saya..," Neira tak kalah sengit.

"Lihat, jam berapa sekarang, hampir jam dua belas malam,"

"Saya tahu, gara-gara bapak juga kan sok periksa ini itu, makanya jadi molor kerjaan saya, malah ngajakin makan malam lagi,"

"Serah terima jabatan memang bulan depan yang tinggal beberapa hari lagi, tapi pekerjaan ini akan aku lanjutkan, karena Pak Ridwan langsung bertolak ke Jerman tadi untuk memeriksakan kondisi jantungnya, jadi aku yang akan menyelesaikan dan asal kau tahu, perusahaan ini milik om ku, jadi aku sudah mempelajari apa yang akan aku kerjakan," suara Dewa semakin meninggi.

"Saya tidak mau tahu, perusahaan ini milik om atau kakek bapak yang jelas Bapak tidak bisa memaksa saya," Neira hendak melangkah ke kubikelnya lagi, saat tangannya disentak oleh Dewa, Neira kaget dan matanya menatap dengan marah.

"Pulang Ne, kau tak tahu apa yang ada di sini, banyak sekali dan kau sendirian yang lain pulang, kau tahu siapa di belakangmu?" tanya Dewa mencoba berkonsentrasi melihat siapa di belakang Neira.

"Tahu, dia menemani saya sejak awal di sini, dia Esther, noni Belanda yang mati bunuh diri karena patah hati, saya nggak takut, meski wajah dia ancur saya sudah biasa lihat dia," sahut Neira sekenanya, karena dia hafal benar siapa saja temannya yang sering mengunjunginya.

Dewa kaget, dia akhirnya sadar jika Neira mempunyai kemampuan sama seperti dirinya.

"Kamu...," suara Dewa terputus.

"Bapak siapa? Bapak ingin nyoba saya ya? Kenapa Bapak tidak bisa saya baca?" Neira kembali duduk di kubikelnya. Melanjutkan pekerjaannya.

Dewa duduk tak jauh dari Neira.

"Dia duduk di dekatmu," ujar Dewa lagi.

"Saya tahu, biar saja, dia cuman mau curhat, dari pada bapak yang bawel, bicara terus, saya nanya malah gak dijawab," ujar Neira.

"Aku accounting manajer," jawab Dewa.

"Sudah tahu, saya nanya kenapa Bapak tidak bisa saya baca?" tanya Neira.

"Sama, kamu siapa? Kenapa bisa aku lihat jelas wajahmu?" tanya Dewa penasaran.

"Ya karena saya manusia," jawab Neira sekenanya.

"Astaghfirullah," suara Dewa terdengar kaget.

Neira mengangkat alisnya saat Dewa kaget karena ada yang melintas, hanya kepala tanpa badan.

"Dia paling tua di sini, makanya Bapak bilang assalamualaikum kalau mau masuk ke sini, tuh datang lagi, duduk di pojok, itu jin muslim si Hamid, lihat Bapak kan, tiap ada orang baru dia pasti datang, gak usah kawatir, di sini banyak, saya kenalkan satu-satu," ujar Neira tanpa melihat Dewa.

"Heh mau unjuk kebolehan," ujar Dewa mendesis sinis.

"Kan bapak belum kenal, tuh ada yang lebih ngeri di belakang, di gudang sana, jangan sampe gudang kotor, bisa gak karuan isi gudang kalau dibikin semrawut, gak usah sok menjaga saya, saya lebih lama dari Bapak di sini, saya terbiasa berkomunikasi dengan mereka meski dalam kondisi duduk seperti ini," ujar Neira.

"Bapak pulang saja, ini tinggal sedikit, besok saya serahkan ke Bapak hasil kerjaan saya," ujar Neira.

"Diamlah, aku sedang berkomunikasi dengan Hamid," Dewa menunduk memejamkan matanya.

Satu jam kemudian, Neira bangkit, sedikit melirik Dewa yang memejamkan mata sambil duduk.

"Hati-hati pada seseorang yang siang tadi makan bareng di rumah makan padang, yang namanya Bagas," ujar Dewa.

"Saya tahu," sahut Neira.

"Dia suka kamu,"

"Saya tahu,"

"Dia punya masa lalu menyakitkan dan berniat membalaskan sakit hatinya melalui kamu,"

"Saya tahu,"

"Ck, apa sih yang tidak kamu tahu?" tanya Dewa.

"Bapak siapa?"

"Aku Dewandaru,"

"Ah, bukan itu, buka coba ilmu Bapak biar saya tahu siapa Bapak, Bapak mau coba-coba saya kan?" tanya Neira kesal.

Dewa berdiri menatap wajah Neira dari dekat, hingga Neira merasa jengah dan melepaskan padangannya.
"Mulai menyukaiku hmm ?" Dewa tersenyum miring.

"Jangan mimpi, Bapak masih baru di sini sudah ngeselin saya, saya nggak takut meski Bapak bos saya," Neira terpaksa menatap mata Dewa lagi.

Hei makhluk pendek akan ku buat kau mencintaiku...

"Saya dengar Bapak ngomong apa, saya tidak pendek, Bapak jangan menghina saya, Bapak saja yang ukurannya gak normal, heh dasar bos sableng,"

Neira melangkah ke luar ruangannya dengan wajah gusar dan Dewa tersentak kaget, bagaimana mungkin Neira tahu apa ia bisikkan dalam hatinya.

Ia berlari mengejar Neira yang ia yakin takkan bisa lepas dari kejarannya.

****

"Naiklah, ini sudah malam, aku tahu kau punya kemampuan melihat alam lain dan kau tak takut, tapi perampok, maling, dan para bajingan takkan mampu kau atasi dengan badan kecilmu,"

Wajah datar Dewa benar-benar membuat Neira kesal.

"Bapak niat ngantar saya, apa mau ngejek saya?"

****

27 Desember '19 (17.30)

Maaf kalo ada typo, ketik langsung up 😘

The Sixth Sense (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang