#5

1.5K 215 44
                                    


"Bapak tadi nakutin," kata Neira saat perjalanan pulang, dan Dewa menoleh dengan kening berkerut lalu tersenyum saat melihat wajah Neira memandangnya dengan mata mengerjab dan wajah tanpa senyum.

"Masa sih, masa aku tahu nakutin? aku cuman mau bikin orang itu nggak main-main sama kita, dia yang pinjam, dia yang bikin perjanjian dan dia juga yang mau nyoba-nyoba dengan ngundang seseorang, dia belum tahu siapa aku, dan akuuu tadi agak kaget sebenarnya, kamu melakukan apa dengan jarimu? Mau membantuku? Kau menggerakkan telunjukmu ke arah orang berbaju hitam itu, mencoba mengacaukan konsentrasinya, iya kan?" Dewa tertawa pelan dan Neira terkejut.

"Bapak kok tahu? Bahaya loh Pak, kalau Bapak lirak-lirik pas sedang diserang seseorang," ujar Neira yang disambut tawa Dewa.

"Heh, anak kecil, yang konsentrasi itu batinku, meski secara lahiriah mataku melirikmu, tapi batinku siap menyerang balik apa yang coba dia lakukan padaku, ngerti heh?" Dewa tersenyum miring dan Neira menjadi jengkel.

"Heh, dasar om-om, saya itu cuman kawatir sama keselamatan Bapak, eeeeh malah dikatain anak kecil lagi, terserah deh," Neira terlihat jengkel dan memalingkan wajahnya, melihat ke luar jendela.

Dewa menahan tawa, ia sangat suka jika Neira jengkel entah mengapa ia ingin semakin menggoda Neira.

"Gitu gak mau dibilang anak kecil, masa gitu aja ngambek, ntar sama om nggak dibeliin cilok deh," ujar Dewa semakin jadi menggoda Neira.

Neira menoleh dengan tatapan marah.

"Gak ada urusan saya sama cilok, gak doyan saya, Bapak aja yang aneh, sudah tua juga suka jajan cilok, gak malu, gak ingat umur sama jabatan," Neira kembali memalimgkan wajahnya.

Dewa akhirnya terkekeh.

"Heeeiiii heeei anak kecil, gak ada hubungan juga kali cilok sama usia dan jabatan, masa ada tulisan di abang penjual cilok, om-om dan accounting manajer dilarang beli? Gak ada kaaan?"

Dewa kembali terkekeh dan Neira menoleh lagi ke arah Dewa.

"Terserah, males ngomong sama orang sableng,"

Dewa menangkap kilatan air mata di mata Neira, ia menarik bahu Neira hinggga keduanya saling menatap.

"Heeei kita sedang bergurau kan, kok kamunya...," Dewa ketakutan melihat Neira hampir menangis. Seumur-umur dia tidak pernah dekat dengan wanita, ia jadi tak tahu harus melakukan apa.

"Heeei lihat aku, Ne, aku cuman suka godain kamu, aku nggak serius dengan ucapanku tadi,"

Entah mengapa Dewa jadi suka memandang wajah Neira, mungkin karena ia bisa melihat wajah Neira tanpa gangguan kilasan masa lalu dan yang akan datang.

"Bapak mau ngapain kok makin deket aja wajah saya," suara Neira terdengar mencicit dan Dewa menjauhkan wajahnya sambil menahan napas.

"Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, jangan berpikiran mesum anak kecil," ujar Dewa melepaskan tangannya dari bahu Neira.

"Ih, aku pikir dah sadar, balik lagi sablengnya,"

Neita menggerutu, dan Dewa kembali tertawa.

"Mmaa, maaf Pak Dewa dan Bu Neira, nggak mau turun? Ini sudah sampai,"

Keduanya dikejutkan oleh suara sopir yang mengingatkan mereka bahwa mereka sudah sampai di kantor mereka kembali.

***

Saat mereka masuk, ada yang aneh saat beberapa karyawan terlihat berlarian dan berseliweran dengan wajah panik.

Perasaan Dewa semakin tak enak saat di depan ruangan Pak Prasojo beberapa karyawan nampak berjejalan.

Dewa menyeruak kerumunan karyawan dan menemukan omnya terkapar dengan wajah pucat.

"SEMUANYA KE LUAAAR, CEPAAAT,"

Teriakan Dewa membuat beberapa orang yang berada di mulut pintu ruangan omnya tampak segera menyingkir.

"Ne, masuk, bantu aku, lalu tutup pintunya,"

Suara Dewa terlihat menahan marah.

Terlihat Pak Harjoko, wakil dari Pak Prasojo, masih memegang nadi Pak Prasojo.

"Tidak apa-apa Pak, biar saya yang menangani, maaf, bisa bapak ke luar dan mohon agar selama kami belum ke luar dari ruangan ini jangan ada yang masuk, maaf jika saya terkesan memerintah Bapak," ujar Dewa dan Pak Harjoko masih bingung.

"Apa tidak sebaiknya Pak Prasojo di bawa ke rumah sakit, Pak Dewa?" tanya Pak Harjoko kawatir.

"Tidak Pak, maaf, bisa Bapak ke luar dulu?" tanya Dewa lagi dan Pak Harjoko bangkit dari posisinya yang duduk menekuk lutut menemani Pak Prasojo yang masih tergolek tak berdaya.

Saat pintu tertutup, Dewa membetulkan posisi kepala omnya, membuka jasnya dan menarik dasinya lalu melipat lengan kemejanya.

"Ne, kamu tahu kan om diserang? Kurangajar temannya itu, si Rustamaji itu punya beberapa orang yang memang niatnya akan menyerang om dan aku, tapak kakiku ternyata maunya diambil, kau tahu tadi kan?"

Tanya Dewa dan melihat sinar mata Neira yang terlihat takut.

"Iya, saya lihat tadi ada orang mengikuti kita dari belakang, tapi saya lihat Bapak seolah meludah, saya tahu, makanya saya diam saja, dan baru bicara setela di mobil, lalu bagaimana ini Pak, Pak Prasojo?"

"Aku minta kau konsentrasi saja, hanya menjaga sekitarku, aku mau konsentrasi mengeluarkan barang aneh dari tubuh omku, belum masuk terlalu dalam kok, baru sampai betis, oke, kita mulai, aku akan waspada jika kau tak kuat pada serangan lawan, buka matamu, menyingkir perlahan akan aku hadapi sendiri sambil mengeluarkan barang aneh ini, ok, kita mulai Ne,"

Neira memejamkan matanya, duduk bersila, menegakkan badannya lalu memejamkan matanya.

Dewa menggerakkan tangannya, dari arah betis menuju telapak kaki omnya berulang, berulang dan berulang, keringat mulai membasahi keningnya, ia memejankan matanya.

"Kakek ada di mana? Bantu aku, sedikit lagi, benda-benda ini akan ke luar,"

"Ya aku membantu dari sini cucuku, sedikit lagi, ya dorong agak kuat, yah ke luar sudah meski tak banyak, masih ada sisa, lanjutkan lagi nanti malam, kakek bantu dari sini, bawa Pras pulang, rumahnya sudah aku pagari,"

Dewa membuka mata, dan melihat ditangannya ada beberapa jarum dan paku berkarat.

"Ne, buka matamu," bisik Dewa.

Dan Neira membuka matanya lalu bangkit dan duduk di kursi sambil bersandar. Ia terlihat sangat lelah, napasnya masih terlihat memburu.

"Duh Paaak...saya...capek...lagian manaaa ya si Hamid kok ngilang,"

Neira memejamkan matanya.

"Ne, lihat benda di tanganku, si Hamid nggak mau gini-ginian Ne, dosa katanya, padahal kan aku berusaha nyembuhin om ku" ujar Dewa, Neira membuka matanya perlahan dan kaget.

"Astaghfirullah Paaak, ya Allaaah," Neira terlihat takut melihat paku dan jarum berkarat, ia masih lemas namun ia masih bisa menyangga badannya, berusaha duduk dengan tegak dan mengucap istghfar berulang.

"Lalu gimana ini Pak, Pak Prasojonya?" tanya Neira.

"Akan aku bawa pulang ke rumahnya, ini masih belum ke luar semua benda aneh dari bandannya, beliau belum sadar, akan aku telepon sopir dan Pak Harjoko," sahut Dewa.

"Hanya bagaimana caraku menjelaskan pada istri om Prasojo?" ujar Dewa lagi.

"Iya Pak ini kan kayak nggak masuk akal ya, eeemmm maaf kalau boleh tahu, Pak Dewa dukun ya?" tanya Neira dan Dewa menatap mata Neira dengan tatapan tajam.

****

7 Januari 2020 (16.10)

The Sixth Sense (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang