#7

1.4K 213 87
                                    


Neira menatap tajam mata ular itu, seketika ia ingat kembali mata ular dalam mimpinya. Tatapan mengerikan yang sama seperti malam-malam yang menakutkan itu.

Dan...bles...

Ular itu hilang bersamaan dengan Dewa yang telah ke luar dari kamarnya.

"Neee, ada apa? Kenapa kamu pucat?" Tanya Dewa cemas. Ia duduk di dekat Neira yang tampak mengatur napas, sambil memejamkan matanya.

Tangannya masih bergetar namun botol minuman herbal itu masih ia genggam dengan erat dan perlahan Neira meletakkan botol itu di meja.

"Neee, ada apa?" Tanya Dewa lagi.

"Bapak memelihara binatang pesugihan ya?" Tanya Neira dengan suara bergetar.

"Hah, binatang pesugihan? Gila apa? Aku meski nggak kaya-kayak amat ya nggak miskin-miskin amat Ne, kamu ini ya kalau tanya sama ngentut kok nggak ada bedanya, pesugihan apa?" Tanya Dewa yang tadinya cemas jadi agak kesal.

"Ular Pak, ular itu ke luar dari balik kulkas, lalu mendekat ke arah saya, memandang saya lama dan saya jadi ingat, dia ular yang sama seperti yang beberapa kali datang dalam mimpi saya, ya Allaaah saya takut Pak, lalu ular itu hilang setelah Bapak datang," Neira menyandarkan badannya pada sofa. Ia pejamkan matanya memegang dadanya yang masih berdetak dengan keras.

Rasanya tulang di badannya melemas. Dewa memejamkan mata.

Ki Sapto? Mengapa kau ke luar? Aku tak pernah memerintahmu menakuti wanita ini..

Dia jodohmu, aku hanya mengenalkan diri, aku yang menjagamu sejak bayi, bolehkan jika aku menjaga jodohmu?

Tidak, terlalu dini, dia bukan jodohku, kami takkan pernah cocok, kami bertolak belakang..

Kau boleh tak percaya padaku, tapi dia jodohmu...

Dewa membuka matanya. Menemukan Neira yang menatapnya dengan aneh.

"Benar kan? Bapak memanggil pesugihan Bapak? Ini baru ular, nanti tuyul lalu babi ngepet," ujar Neira menatap Dewa yang juga menatapnya.

"Bisa nggak sih kamu nggak ngajak aku bertengkar? Sehariiii aja," ujar Dewa dan Neira menegakkan badannya.

"Tergantung Bapak, yang ngeselin kan Bapak," sahut Neira.

"Kita nikah yuk Ne," ujar Dewa tiba-tiba.

"Innalillahi wa innailaihi rojiuuuun, segala cilok, sempol, es teh, nasi Padang, ada racun apa dimakanan itu tadi, kenapa Bapak jadi nyungsep otaknya, astaghfirullah hal adziiiim, subhanallah, laaa ila ha illallaaah," Neira sambil geleng-geleng kepala.

Lalu ia menyentuh kening Dewa dengan punggung tangannya kemudian menyentuh bokongnya dengan punggung tangan yang sama.

"Geser nih kayaknya otak Bapak, panasnya sama kayak bokong saya,"

Dan Dewa mendorong badan Neira hingga rebah di sofa, Neira kaget bukan main saat badan Dewa yang besar telah berada di atasnya.

"Paaaak jangan perkosa sayaaa," teriak Neira dan Dewa bangkit sambil mendengus kesal.

"Aku bukan pedofil, siapa juga yang mau merkosa kamu, gak minat, barang kok semuanya kecil," ujar Dewa.

"Eeeh sorry ya, saya ini semlohai, Bapak aja yang matanya kena tutup tangan setan," Neira tak mau kalah dan Dewa jadi tertawa dengan keras.

"Iyaa keningmu yang semlohai, bisa dipake landasan pesawat, poni aja kayak korden, seliweran,"

"Gak usah ngomongin aib saya yang lain Pak," Neira marah dan bangkit dari duduknya lalu meraih tasnya, meski ia masih merasa agak lemas karena ular yang menakutkan itu. Namun tangannya segera bergerak cepat membetulkan rambutnya.

The Sixth Sense (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang