#8

1.6K 214 50
                                    


"Bapak pulang aja, ngajak kawin kayak mau neraktir beli cilok aja, dikira gampang apa, kenal juga masih kulit luar, gak, saya gak mau diajakin kawin," sahut Neira menggeleng dengan kuat.

"Aku ngajak kamu nikah, siapa yang ngajakin kawin, kawin mah bisa sekarang," ujar Dewa. Dan mata Neira semakin terbelalak.

"Jangan mesum Pak, nggak, pokoknya nggak, saya nggak mungkin jatuh cinta sama Bapak yang kalau ngomong kayak gak ada saringannya, kita akan berantem terus kalau jadi suami istri,"

Neira masih saja menggeleng kuat.

"Ck, nggak usah lebai kali, nggak ya sudah, aku tak cari cewek lain, yang bisa aku lihat wajahnya kayak kamu Ne, tuh temen kamu lihatin aku terus, dia marah kayaknya?" Ujar Dewa tertawa lirih.

Neira menoleh ke belakang dan melambaikan tangan sambil tersenyum.

"Dia Nino namanya, dia bilang emang gak suka sama Bapak, Bapak aneh katanya," ujar Neira.

Dewa tergelak dan kembali menoleh pada foto Neira kecil.

"Aku masih penasaran kenapa di foto itu wajah kamu sedih?" Tanya Dewa lagi sambil menunjuk foto itu.

Neira mengembuskan napasnya dengan berat.

"Entah mengapa, sejak kecil saya merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang mengerikan pada Bapak, yang memotret kami itu Bapak, jadi saat Bapak memotret saya dan kakek, saya merasa sesak rasanya, tak siap jika harus ditinggalkan Bapak," ujar Neira.

"Memang Bapak kamu meninggalnya gimana?" Tanya Dewa.

"Ada orang jahat yang akan nyerang kakek, tapi Bapak tahu lebih dulu, Bapak melawan serangan orang itu dari rumah, Bapak kalah, tak sebanding kekuatannya dengan orang yang menyerang kakek yang ternyata setelah saya dewasa baru saya tahu orang itu adalah teman seperguruan kakek yang menyalah gunakan ilmu dari gurunya, begitu kakek bercerita pada saya," ujar Neira. Kesedihannya tak dapat ia tutupi.

Dewa menarik kursi mendekati Neira.

"Lalu bagaimana kondisi Bapak, setelah beliau kalah dari teman kakekmu?"

"Badan Bapak menghitam, awalnya hanya kaki, lalu perlahan berjalan ke sekujur tubuhnya, menurut tetangga, yang kebetulan ada yang melihat malam itu, ada panah berapi melesat menuju rumah dan berhenti di atas atap rumah kami, lalu meledak, aku memanggil kakek bolak balik dengan telepati, akhirnya beliau datang tapi terlambat, Bapak sudah meninggal," ujar Neira, ia merasakan tangannya yang digenggam erat oleh Dewa.

"Aku memahami kesedihanmu, tapi kau setidaknya pernah bersama dengan Bapakmu menikmati kebahagiaan bersama, aku dan adikku ditinggal Bapak saat kami kecil, bahkan adikku lupa pada wajah bapak, sama sepertimu, meninggal dengan cara aneh kata kakek, semakin hari semakin kurus tanpa tahu apa penyakitnya, dibawa ke dokter eh dokter malah gak nemu penyakitnya apa, meski sudah checkup segala macam, sudah takdir kita Ne, hidup dalam keluarga yang mempunyai kelebihan seperti ini," ujar Dewa sambil sesekali mengusap tangan Neira, lalu menggenggamnya dengan erat lagi.

"Bapak sampai kapan megang tangan saya? Tuh kelihatan banget beda warnanya, kayak kue lapis kulit kita Pak," ujar Neira pelan namun sanggup membuat Dewa jengkel. Ia lepaskan tangan Neira dengan wajah kesal.

"Kau tahu? Justru karena kulit eksotisku aku digilai wanita, ada yang terang-terangan menawarkan diri padaku hanya ingin melihat bagaimana warna ini sempurna di seluruh bagian tubuhku, ngerti?" Ujar Dewa sambil mendekatkan wajahnya ke arah Neira.

"Ya Allaaah segitu pedenya Bapaaaak, Bapak emang ganteng saya akui, laki banget, macho kata orang-orang di kantor, tapiiiii bagi saya Bapak itu tak lebih dari seorang bos yang cerewetnya minta ampun, nenek-nenek lagi pms aja kalah sama Bapak, orang-orang kan tahunya Bapak ramah dan santun, gak tahu mereka keseharian Bapak," Neira menoleh pada Dewa yang masih menatapnya tanpa berkedip.

"Kenapa Bapak liatin saya?" Tanya Neira agak takut karena wajah Dewa yang tanpa ekspresi.

"Aku baru menyadari jika kau, dilindungi oleh seekor burung gagak, tadi dia sempat berada di dekatmu lalu terbang lagi," ujar Dewa menoleh ke jendela dan Neira kaget, menatap Dewa dengan wajah pias teringat kata-kata kakeknya lagi.

Ki Jayengrono hanya mampu dilihat oleh kakek dan satu lagi, orang yang akan menjadi jodohmu, orang lain yang punya ilmu di atasmu hanya mampu meraba-raba saja bagaimana wujud Ki Jayengrono...

Lalu Neira menggeleng dengan kuat, entah mengapa ia merasa ada firasat buruk, Neira hanya merasa bahwa apapun yang terjadi dia takkan pernah dekat dengan Dewa lebih dari sekadar atasan dan bawahan.

"Kenapa menggeleng, aku tak mengajakmu menikah kok Ne," ujar Dewa dan Neira mendengus kesal.

"Ih siapa juga yang mau dinikahi Bapak, jangan bergurau lagi ya Pak, jangan pernah bilang mau ngajak saya nikah," ujar Neira terlihat cemas.

"Apakah menganggu kamu? Apakah kamu punya pacar?" Tanya Dewa kembali menatap Neira yang ternyata menggeleng.

"Saya punya dunia aneh yang tidak semua laki-laki akan paham, meski kadang saya akui sebagai wanita normal saya pernah menyukai seseorang, saya abaikan masa lalu dan masa depannya yang saya lihat di wajahnya tapi saya cepat-cepat menyadarkan diri saya, saya tidak mau mereka menyesal menikahi saya saat tahu saya memiliki keanehan,"

Neira menatap wajah Dewa yang perlahan tersenyum padanya.

Aku tak tahu Ne mengapa aku yakin bahwa kau adalah jodohku, bukan karena kata-kata ki Sapto, tapi sejak awal kita bertemu, namun ada kabut tebal yang sepertinya menghalangi langkah kita..entah bagaimana cara menyibaknya, aku hanya menunggu hujan...

Dewa kembali berusaha tersenyum, tak sulit baginya untuk menyukai Neira yang berwajah menarik, meski hanya dipolesi riasan sederhana wajah putih bersihnya tampak semakin bersih dengan rambut sebahu yang hitam legam. Selalu ia lihat seperti itu setiap hari di kantor dan ia tak pernah bosan.

"Bapak nggak pantas deh kalau senyum kayak gitu, nakutin, kayak menyeringai malah,"

"Ya Allaaaah, apa aku benar-benar tak ada kelebihan apapun di matamu Ne?" Dewa bangkit, mengacak rambut Neira, hingga cepol rambutnya lepas dan rambutnya tergerai ke bahunya.

"Aku pulang, Ne, salam sama Nino yang sejak tadi melotot aja," ujar Dewa. Dan mau tak mau Neira tergelak.

Neira mengantar Dewa sampai pagar. Sekali lagi Dewa menoleh sebelum melangkah ke mobilnya.

"Seandainya kita memang berjodoh, apakah kamu akan mengelak Ne?"

Neira menatap wajah bosnya yang sulit ia baca, sulit diterka ke mana arahnya.

"Saya berharap kita tidak berjodoh Pak, meski samar, saya melihat akan banyak luka dan air mata, jika kita bersama."

****

14 Januari 2020 (17.50)

The Sixth Sense (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang