#14

1.3K 180 12
                                    


Dewa mengantar Neira sampai ke depan pintu pagar kontrakannya. Mereka saling pandang dengan tatapan sedih. Lalu Dewa mengusap pelan pipi Neira, namun Neira memegang tangan Dewa dan menurunkannya dari pipinya.

"Nggak usah kau ingat omongan Ki Sapto, kita yakin saja bahwa semua akan baik-baik saja," ujar Dewa dan Neira menggeleng.

"Tapi Ki Jayengrono mengiyakan, kan Pak? Semuanya Allah yang atur tapi...," suara Neira terhenti saat pintu kontrakan Neira terbuka dan ke luar kakek Neira.

"Masuklah Ne, ajak temanmu masuk, tak baik berbicara di luar seperti itu," ujar kakek Neira terdengar jelas hingga Dewa sedikit mengangguk dan tersenyum melihat wajah berwibawa itu terus menatapnya.

"Boleh aku masuk Ne?" tanya Dewa di telinga Neira dengan setengah berbisik.

"Pulang saja Pak," ujar Neira  memaksa sambil sedikit mendorong dada Dewa.

Dan Dewa tak peduli, ia membuka pagar dan melangkah menuju kakek Neira yang berdiri di pintu.

Mereka saling menatap sesaat dan Dewa menjulurkan tangannya. Mereka bersalaman. Ada aliran tak biasa yang dirasakan Dewa di tangannya.

"Mari silakan duduk anak muda, Ne, buatkan minum ya," pinta Kakek Neira dan Neira hanya mengangguk.

****

"Oh, jadi Anda rekan satu kantor Neira?"

Kakek Neira mengarahkan matanya tak henti menatap anak muda yang ia anggap cukup sopan. Ia merasakan aura yang tak biasa pada anak muda di depannya. Dan ia sadar jika anak muda ini mempunyai kemampuan yang tak bisa ia anggap enteng. Bahkan ia dapat merasakan hawa hangat yang ke luar dari tubuh Dewa. Sesaat ia mengingat wajah sahabatnya yang akhirnya menjadi musuh bebuyutannya tapi cepat-cepat ia usir bayangan itu, tak mungkin dan tidak akan ada yang mampu mempunyai ilmu seperti dirinya dan sahabatnya. Dan iya yakin anak muda tampan di depannya ini, tidak akan ada hubungan apa pun dengan musuh bebuyutannya itu

"Iya, saya temannya Neira, kami baru saling mengenal dan maaf jika saya lancang, sejak awal saya melihat Neira, sayaa ... saya menyukainya dan saya menyatakan niat serius saya ingin menikahi Neira," ujar Dewa dengan tegas dan kakek Neira mengagumi keberanian laki-laki muda di hadapannya.

"Apa yang anda janjikan pada cucu saya? Hingga berani mempunyai niat suci seperti itu?" tanya kakek Neira.

"Meski saya tidak kaya, saya akan berusaha membahagiakan Ne, baru kali ini saya yakin bahwa dia akan jadi pasangan saya, jodoh saya," ujar Dewa dengan yakin dan kakek Neira mengangguk sambil tersenyum.

"Aku kagum dengan keberanianmu, anak muda, tidak semua laki-laki berani mengatakan maksudnya secara langsung tapi boleh aku bertanya, aku sejak tadi terganggu dengan pelindungmu, bisakah ia berhenti bergerak, kalau kau tak mampu menghentikan pergerakannya maka aku yang akan membuatnya berada di dimensi lain,"

Dewa seketika menyadari jika kakek Neira mempunyai kemampuan setara dengan kakeknya, tidak semua orang mampu menaklukkan Ki Sapto, jika sampai ia mengatakan seperti itu berarti ia punya kemampuan yang mumpuni.

Dewa menunduk, memejamkan matanya dan menyuruh Ki Sapto agar tidak muncul lagi.

"Aku tahu jika ia ingin melindungimu, tapi aku bukan orang jahat, aku takkan mencelakakanmu, aku hanya ingin tahu, kau belajar di mana ilmu seperti itu anak muda?" tanya kakek Neira

"Ah ilmu saya tidak seberapa, Kek, boleh saya juga memanggil kakek?" tanya Dewa dan kakek Neira mengangguk. Lalu Dewa melanjutkan.

"Saya memperolehnya dari kakek saya, tapi tidak secara langsung, saya mendapat ilmu kakek melalui mimpi, aneh memang, tapi justru semua ilmu itu tidak boleh saya tulis jika ingin mengingatnya, karena justru ilmu itu akan semakin terasah jika saya berkonsentrasi mengingat, cukup berkonsentrasi saja maka semua ilmu dari kakek sudah mampu saya serap," ujar Dewa menjelaskan dan kakek Neira tersenyum.

Tak lama Neira yang telah berganti baju dan ke luar dengan membawa minuman juga kudapan ringan.

"Duduk lah Ne, ini Neira pun punya kemampuan yang tidak jauh darimu anak muda, hanya kemampuan secara fisik dia jauh di bawahmu, tapi sejak kecil aku sudah sering menempa fisiknya hanya sejak berkuliah dan bekerja dia jadi jarang olah fisik, iya kan Ne?" Kakek Neira seolah tidak mau kalah menunjukkan kemampuan cucunya.

"Ah kakek, aku nggak mau bicara masalah itu, itu hal yang nggak perlu kita tunjukkan ke orang lain, karena kalau ada orang jahat, malah nyoba-nyoba nantinya," sahut Neira

"Lah, temanmu ini kan bukan orang jahat, malah dia ijin ke kakek untuk menikahimu," sahut kakek Neira sambil tersenyum dan Neira kaget, ia tatap mata Dewa dengan tajam sedang Dewa justru menatap Neira dengan tatapan mesra.

"Baiklah, jika kau memang serius, kapan secara resmi keluargamu meminta cucuku?" tanya kakek Neira pada Dewa dan wajah Neira menjadi panik.

"Kakek! Nggak secepat ini juga kali Kek, Ne belum bilang ibu," ujar Neira.

"Tak ada yang perlu lagi kamu tunda, ibumu itu terserah kakek, sejak Bapakmu meninggal semuanya jadi terserah kakek, dulu ibu dan bapakmu malah kakek jodohkan, mereka tidak saling mengenal dan ternyata mereka baik-baik saja kan?" ujar kakek Neira dan Neira tetap terlihat gelisah, sementara Dewa terlihat senyum-senyum mengamati Neira yang kebingungan. Lalu kakek Neira menyilakan Dewa untuk menikmati suguhan.

****

"Pak, bisa kan, nggak usah dengarkan kakek? Nggak usah dipikirkan dulu, saya nggak ingin secepat ini," ujar Neira saat Dewa telah berada di samping mobilnya, Dewa telah pamit pulang pada kakek Neira.

"Justru aku ingin segera menghalalkan kamu, agar kita nggak semakin berdosa saja, tahu nggak kamu? Dekat kayak gini bawaannya aku pengen nyium kamu aja," bisik Dewa dan mata Neira terbelalak.

"Bapak mesum!"

Suara Neira terdengar jengkel sedang Dewa terkekeh geli.

"Seperti yang aku janjikan pada kakekmu, aku dan keluargaku akan menemui ibumu, untuk memintamu secara resmi Minggu depan, tidak banyak orang, hanya ibuku dan  kakek serta nenekku, aku juga pastinya," ujar Dewa yang suaranya masih menyisakan tawa.

"Tahu nggak, Pak, saya jadi tidak ingin cepat-cepat ke Minggu depan, ada perasaan takut yang teramat sangat," ujar Neira dan Dewa menggeleng.

"Ada aku, kita hadapi bersama, sebenarnya aku pun begitu Ne, tapi justru dalam gelap seperti ini aku berusaha kuat karena ada kamu, kita berpegangan, ingat itu, kita saling memandang seperti ini, tapi kita sama sekali tak tahu diri kita masing-masing, gelap yang kita rasakan, iya kan? Dan ingat Ne, jika nanti terjadi sesuatu yang tidak kita sangka, jangan tinggalkan aku, tetap bertahan di sisiku, kita hadapi berdua, aku yakin badai sebesar apa pun akan reda jika kita berdua kuat menghadapinya."

Neira mengangguk dengan ragu. Ia hanya merasakan akan ada hal besar terjadi tapi ia tak tahu itu apa. Ia melihat Dewa yang tersenyum seolah memberinya kekuatan dan semua akan baik-baik saja. Kembali rasa benci pada kemampuannya menyeruak, ia benci kemampuan kakeknya yang menurun padanya justru menjadi siksa baginya sejak kecil dan sampai hari ini.

****

15 Maret 2020 (06.14)

The Sixth Sense (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang