Part 3

245 15 0
                                    

#BINAR (Part 3)
Kolab Cocom Ssi dan ellinda21
#COMEL
POV. Binar

Tak ada tempat lagi yang bisa kutuju. Bahkan wanita yang telah melahirkanku pun jelas-jelas menolak. Ya, betapa konyol dan tak tahu malunya diri ini. Sepantas apa aku masih diinginkan? Kehadiranku tak berarti dan nyawa pun tak berharga. Aku hanya sebatas anak haram yang pernah menjadi noda. Seharusnya, aku bisa lebih legawa menerima. Bahkan aku tahu bagaimana cara menahan air mata. Bagaimana mungkin aku tak bisa ikhlas menerima perlakuannya?

Ibu. Meski mungkin kami tak pernah kau harapkan, setidaknya darahmu ada dan mengalir di dalam tubuh kami. Kuyakin, walau hanya setitik celah di hatimu. Kami akan memasuki, meski harus merangkak dengan luka yang menganga. Tak apa, asal engkau kembali.

Langkahku semakin menjauh dari tempat biadab itu. Jalanan masih ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Kakiku mulai terasa pegal berjalan selama berjam-jam.

"Mau ke mana, Neng, malam-malam? Mau abang anterin, nggak?" celoteh pengendara bermotor yang mencoba menggoda. Entah untuk yang berapa kali, aku tak merespons sama sekali. Sampai beberapa umpatan terlontar padaku.

"Dasar cewek dekil, sombong."

"Ditanya nggak jawab, bisu, yah?"

"Waahh, lu bisu atau sombong. Dasar gembel!"

Jangankan menjawab. Menoleh pun enggan, untuk pria penggoda macam mereka.

Akhirnya aku sampai di tempat di mana Intan terbaring. Karena memang tak ada lagi tempat yang bisa kutuju selain rumah sakit ini.

"Mbak Binar, bukankah tadi sudah pulang?" sapa seorang suster yang sudah lumayan akrab denganku.

"Eh, iya Sus, tadi saya pulang mengambil beberapa barang lalu ke sini lagi," tukasku.
Kulihat matanya melirik ke arah dua tas  warna hitam yang masih kutenteng.

"Oh, banyak banget barangnya?" sambungnya.

"Iya, soalnya saya akan bermalam di sini, Sus. Ingin menjaga adik saya." Aku memungkasi.

Perempuan yang memeluk beberapa berkas di dadanya itu tersenyum terenyuh.
"Kamu memang Kakak yang baik, beruntung sekali pasien memiliki saudara sepertimu. Selain kamu, memangnya tak ada saudara lain? Misal ... orang tua?" tanyanya ragu.

Suster Anjar adalah wanita yang biasa mengurus adikku. Bisa kulihat beberapa kali, mulai dari awal Intan masuk ke sini, dia memiliki tatapan iba tersendiri pada kondisi kami.

Hening. Aku terdiam sesaat.

"Maaf kalau pertanyaanku kurang berkenan," tukasnya dengan raut wajah tak enak hati.

"Nggak pa-pa. Sebenarnya ada keluarga. Akan tetapi dia jauh, sangat jauh, jadi tidak bisa ke sini." Aku menjelaskan sekenanya.

Ya. Sekat pembatas bukan ukuran jauh dekatnya suatu hubungan. Meski Ibu masih bisa kutemui, tetap saja dia tak terjamah oleh hati ini. Aku masih belum bisa meluluhkannya.

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu ya, Binar. Semoga operasi besok berjalan lancar." Suster Anjar mendoakan dengan tulus.

"Terima kasih, Sus." Aku tersenyum menatap wanita paruh baya tersebut, sebelum akhirnya dia pergi.

Aku mendaratkan diri di atas kursi yang tersedia berjajar di koridor rumah sakit. Ruangan Intan memang tidak bisa dimasuki sembarangan, kecuali bersama dengan dokter atau suster. Entah, kapan Intan akan sadarkan diri. Semoga saja, usai operasi dia akan cepat pulih.

Hari yang melelahkan membawa jiwaku begitu nyaman duduk di atas kursi yang akhirnya menghentikan langkah. Kupijat sesaat bagian tumit, ada rasa yang cukup lama tertahan. Perih. Setelah kubuka sepatu usang, kupandangi sesaat lecet yang tidak seberapa. Kutarik napas berat lalu kembali bersandar di kursi. Sampai akhirnya terlelap dengan tumpukan penat yang terus menjerat.

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang