Kolab Cocom Ssi dan ellinda21
#Commel
Pov ReyhanEntah di mana salahnya permintaanku, sehingga Binar seperti menghindar. Seharusnya dia tahu kalau bukan menjadi pembantu atau asisten yang dimaksud dari permintaanku tadi. Harusnya dia peka pada ucapanku. Akan tetapi ... ah ... aku pun bingung dengan perasaan yang ada di dalam hati.
Apa pantas seorang sepertiku mengharapkan gadis seperti Binar? Dari segi mana pun memang kami berbeda. Banyak sisi kelam dalam diri ini. Aku lelaki bejat! Anak durhaka! Sedangkan Binar sangat menjaga kesuciannya. Dia juga anak yang berbakti pada orang tua, walaupun tidak diakui.
Tuhan ... kenapa hidupku begitu runyam? Apa Kau mau menghukumku karena selama ini membenci Mama? Bukankah dia pantas dibenci? Wanita itu yang telah menghancurkan harapan indah keluarga kami.
Entah selama berapa jam aku masih berdiri di teras samping. Sampai udara malam semakin terasa menusuk tulang. Kuputuskan kembali ke kamar walau mata belum mengantuk.
Memasuki ruang pribadi, aku berjalan menuju laci meja. Membuka kuncinya dan menemukan album foto keluarga. Keluarga? Benarkah aku memiliki sebuah keluarga? Namun kenapa aku selalu merasa sendirian ... di ruang yang gelap nan pekat?
Beberapa menit memandang foto keluarga yang harmonis hingga perlahan, ada rasa rindu yang menyelusup ke dalam bilik hati. Kami bertiga tersenyum bahagia. Walau tidak setiap hari bisa bertemu Papa, tapi kehadirannya selalu menjadi penyokong semangat diri ini.
Terlintas kejadian paling memuakkan di rumah Oma, membuat dada ini kembali merasa sesak. Gemuruh amarah menampik segala kelembutan yang coba dia tawarkan. Nasi telah menjadi bubur. Hati ini telah mati untuk sekadar mendengar kata maaf darinya.
Kuremas kuat lembar foto itu sebagai pelampiasan atas rasa benci yang telah lama bersarang di hati. Biarlah dia merasakan bagaimana rasanya kecewa karena disakiti orang yang kita sayangi. Perkataan Binar tadi siang memang ada benarnya, tapi tak semudah itu membuka pintu maaf karena kesalahan fatal yang berbuntut panjang.
***
Suara Binar mengembalikan kesadaranku. Entah sudah jam berapa sekarang. Ingin bangun, tapi kepala terasa sangat berat. Mata juga enggan terbuka dan tubuh pun terasa mengigil.
Sentuhan tangan lembutnya di kening, juga rasa cemas Binar kepadaku, membuat sebagian sisi hati menghangat. Apa Binar benar-benar mengkhawatirkan aku? Atau ... dia hanya melaksanakan tugasnya sebagai pelayanku? Andai pertanyaan pertama yang benar, aku rela dalam keadaan seperti ini lebih lama.
"Temani aku ... kumohon." Aku berujar lirih saat dia selesai meletakkan handuk basah di kening.
Aku tak butuh obat. Perhatianmu yang tulus adalah obat mujarab saat ini. Setelah dia menyanggupi, aku merasa tenang dan kembali terlelap.
***
"Binar ...." Suaraku lirih karena tenggorokan terasa serak.
Tak ada sahutan. Kuedarkan pandangan ke segala sudut ruang. Kosong. Berarti dia keluar saat aku tidur. Aku meraih ponsel di atas nakas lalu men-dial nomornya, berharap dia segera datang. Sekali, dua kali, hingga entah ke berapa kali tak ada jawaban di seberang.
Akhirnya suara Bu Dilah di balik pintu, menghentikanku.
"Maaf Tuan. Ponsel Binar tertinggal di dapur. Anda butuh sesuatu?" ujar wanita yang sudah berdiri di samping ranjang itu.
Aku menggeleng. Suhu tubuh sudah lumayan turun, tapi kepala masih berat. Aku berusaha duduk bersandar kepala ranjang. "Binar ke mana?" tanyaku dengan suara parau.
KAMU SEDANG MEMBACA
BINAR
RomanceSeorang gadis berkatakter kuat dan tangguh. Memiliki kisah memilukan tersendiri dalam hidupnya. Ya. Ini bukan arogan, hanya saja inilah caraku melindungi harga diri sebelum terinjak hingga posisi paling rendah. Sekalipun sebilah pedang ada dalam ke...