Part 14

221 14 1
                                    

Pov Reyhan

Aku tak tahu apa yang dilakukan ini benar atau tidak? Mengatakan suatu kebohongan untuk menutupi aib sendiri. Biarlah Binar mengenalku sesuai penilaiannya tentang sosok seorang Reyhan yang dia tahu. Selebihnya, cukup aku saja yang tahu. Maaf Binar ... penilaianmu terhadapku terlalu baik. Aku malu jika mengatakan yang sebenarnya, karena pasti akan mengecewakanmu.

Hubungan dengan Binar semakin baik sejak aku memperlakukannya secara manusiawi. Hingga suatu hari saat dia berpamitan ingin menemani adiknya ke rumah sakit, entah kenapa aku begitu ingin mengantar. Seharusnya aku sadar posisi kami. Siapa dia dan siapa aku? Namun nyatanya logika terkalahkan oleh empati. Empati seorang Reyhan yang  kembali muncul setelah sekian tahun terpendam oleh rasa kebencian.

Perlakuan wanita penghianat itu secara telak, berhasil mengikis rasa empatiku pada sesama, terutama makhluk yang disebut perempuan. Namun, kehadiran Binar perlahan memupuk kembali kepekaan itu tanpa kusadari. Binar ... benarkah semua karenamu? Karena hati bisa merasakan ketulusan yang engkau berikan tanpa bisa menolaknya.

Saat aku menawarkan uang untuk berobat adiknya, dia menolak. Alasannya karena sudah dibantu Bu Anjar. Kemudian fakta lain terkuak tentang ibu Binar yang ternyata wanita di restoran juga di parkiran kala itu. Ah ... tak kusangka jalan hidupmu begitu terjal. Aku kira hanya akulah orang yang paling nestapa karena memiliki ibu yang tidak punya hati. Ternyata, nasibmu tidak lebih baik daripada aku.

Binar ... nasib kita sama. Hanya bedanya kau berharap ibumu kembali, sedangkan aku tak sudi menerima ibuku di sisi. Luka yang ditorehkan begitu dalam hingga menembus ulu hati.

***

Di perusahaan sedang ada masalah dengan salah satu klien yang membatalkan kontrak kerja sama sepihak karena dinilai kinerja tim kami tidak professional. Bisa-bisanya hal ini terjadi! Membuat kepala pusing saja. Meeting direksi pun diadakan. Di sana mau tidak mau, harus bertemu dengan wanita yang tak ingin kutemui.

"Bagaimana kabarmu, Reyhan?" Sapaan lembutnya tidak berarti apa-apa setelah meeting usai. Bagiku, dia tetaplah seorang egois dan pengkhianat yang membuat hidupku hilang arah.

"Seperti yang Anda lihat, saya masih bernapas dan bisa berdiri sampai hari ini," jawabku tak acuh.

Ruangan meeting telah senyap. Tinggal kami berdua saja. Aku ingin beranjak, tapi telapak tangannya menahan bahuku.

"Rey, sampai kapan kamu akan menghindari mama? Berkali-kali mama meminta maaf, tapi kamu tak kunjung luluh," ucapnya mengiba.

Aku menjauhkan bahu sehingga tercipta jarak di antara kami. "Mama mengaku salah dan tidak akan menyalahkan papamu lagi. Biar dia tenang di sana. Jadi mama mohon berilah kesempatan untuk memperbaiki semua. Kita bangun lagi keluarga seperti sediakala."

"Seperti sediakala? Hah! Apa Anda tahu kalau Papa sudah tidak ada di dunia ini? Tidak mungkin bisa terbangun keluaga seperti dulu, Nyonya. Satu lagi yang harus Anda ingat, Papa meninggal karena perbuatan Anda!" Aku berusaha menahan emosi agar tidak sampai melukai fisiknya.

Dia menggeleng, tak terima dengan apa yang kuucapkan. "Tidak, Reyhan. Papamu meninggal karena murni kecelakaan. Bukan karena mama." Lagi, dia melakukan pembelaan.

"Ajal itu sudah digariskan Yang Kuasa, Reyhan. Memang seperti itulah jalannya papamu harus pergi meninggalkan kita." Kini dia mulai terisak. Aku tak tahu apa yang membuatnya menangis. Karena menyesal kehilangan Papa? Atau karena takut akan dosa yang telah membuat papa menderita di ujung usianya?

Tidak ada yang salah sebenarnya dari penuturan itu, tapi entah kenapa bongkahan es dalam hatiku belum bisa meleleh dengan segala usaha yang dia lakukan. Aku akui, dia memang berulang kali meminta maaf, tapi kuanggap angin lewat karena hati terlanjur mati untuk sekedar mencerna apa yang dia ucapkan.

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang