Part 12

196 9 0
                                    

Pov Reyhan

Netra gadis itu masih terpejam saat mobil berhenti di pelataran rumah. Berniat ingin membangunkan, sepertinya dia tertidur pulas. Akan tetapi jika aku bopong dan dia terbangun, bisa jadi samsak aku, seperti pemabuk tadi.

Setelah sekian menit menatap wajah lelap Binar, kuputuskan untuk membopongnya. Ternyata tidur gadis ini benar-benar lelap hingga tidak terusik sama sekali. Bu Dilah yang membukakan pintu, terkejut melihat kami. Aku hanya mengangguk pelan agar dia tidak bersuara.

Kuletakkan Binar di kasur tipis di atas lantai tempatnya beristirahat. Apa aku orang jahat? Ternyata aku tega memberinya kamar yang tak layak seperti ini. Namun, Binar menerimanya tanpa protes harus tidur berteman debu, atau mungkin juga ada kecoak di tumpukan kardus barang-barang di gudang ini.

Bu Dilah yang berdiri di ambang pintu hanya memperhatikan tanpa suara. Aku bangkit berdiri menghampirinya. "Ambilkan salep untuk memar!" perintahku dengan suara lirih.

Sementara itu, dari sini aku hanya bisa menatap lekat wajah lelap Binar dari bias lampu yang menerobos dari luar. Aku yakin Binar memiliki hidup yang berat, tapi dia berusaha menjadi kuat. Damai. Itulah yang kulihat dari pancaran di wajahnya saat ini.

Bu Dilah membawakan salep yang kuminta lalu kusuruh mengoleskan di pergelangan tangan Binar yang memar. Aku hanya memperhatikan. Mungkinkah aku terlalu kasar tadi saat menarik tangannya? Ah ... kenapa aku menjadi serba salah pada gadis itu.

"Sudah Tuan. Sepertinya dia sangat lelah hari ini. Sehingga tidak terbangun sampai sekarang," ucap Bu Dilah setelah selesai mengoleskan salep dan menangkupkan selimut di tubuh Binar.

"Iya," lirihku, " Bu Dilah bisa kembali beristirahat." Aku mempersilakannya ke luar, tapi dia bergeming dengan tanda tanya.

"Tenang saja, aku tak 'kan berbuat macam-macam padanya," ucapku meyakinkan.

Setelah sekian detik, Bu Dilah mengangguk lalu berlalu. Sementara aku melangkah mendekati Binar yang masih terlelap. Duduk di sisinya dan memandang lekat wajah yang teduh. Entah perasaan apa yang mendorong hingga membuatku mendekati bibir mungilnya.

Napasku tertahan saat aku mengingat apa yang kulakukan padanya di hotel kala itu. Sepertinya memang terlalu jahat. Menarik sedikit kepalaku, lalu jari ini merapikan helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis menghiasi wajah ini. Tidurlah dengan nyenyak, Binar. Semoga mimpi indah.

***

Nada alarm dari ponsel di atas nakas membuatku terbangun. Aku segera meraih, lalu mematikannya. Sejenak kusandarkan punggung di kepala ranjang. Biasanya aku kirim pesan pada Binar untuk menyiapkan keperluan ke kantor. Namun ... mengingat semalam tidurnya yang lelap, biarlah kali ini kubebaskan dia dari tugasnya.

"Enak tidurnya, semalam?" tanyaku saat melihatnya di ruang makan. Dia tampak terkejut dengan kehadiranku di sana. Mungkin tak menyangka kalau aku sudah rapi.

"Seharusnya kau membangunkanku!" tukasnya, "Atau kau akan berniat buruk terhadapku, dan melanggar perjanjian?" Wajahnya menjadi galak. Lucu.

Timbul niatku untuk menjahilinya pagi ini. Hitung-hitung sebagai gantinya sarapan. Aku melangkah mendekatinya. Semakin mendekat hingga mengurungnya dengan kedua lengan. Melihat wajahnya semakin gugup, membuatku ingin tertawa. Rupanya bisa takut juga gadis ini.

"Bulan ini, gajimu harus di potong!" tegasku, lalu berlalu menjauhinya.

"Reyhan!" serunya saat aku duduk dan bersiap sarapan. Aku hanya menjawabnya dengan gumaman.

"Sampai kapan aku akan bebas dari utangku padamu?" tanyanya menatapku dengan lekat.

"Kau sudah sarapan?" Dia mengangguk. "Duduklah!" perintahku.

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang