Part 17

619 29 2
                                    

Kolab Cocom Ssi dan Ellinda
#Commel
Pov Binar

Sebenarnya aku tak tahu mau dibawa ke mana Ibu. Akan tetapi, yang jelas tak mungkin kubiarkan dia diperlakukan seperti itu. Jika bukan ketegaran yang kuperoleh dari nasib hidup selama ini, mungkin kini, jiwaku telah melonglong tak berjeda. Air mata menganak sungai ... dan hati ... hancur. Tak tahu lagi bagaimana bentuknya.

Pantaskah aku protes? Siapa yang harus kusalahkan? Ibu sempat menolak beberapa kali. Saat kami menjauh dari gang Merak, dia berlari. Takut. Takut akan menularkan penyakitnya padaku, juga karena malu. Pada akhirnya, Ibu memang harus kembali pada keturunan darahnya.

Cukup lama membujuk Ibu agar mau. Setelah mendapat ijin dari Bu Anjar, untuk sementara Ibu tinggal di rumahnya. Sekaligus, mempertemukan dia dengan Intan. Adikku yang selama ini telah membenci Ibu kandungnya sendiri.

Benarlah, tak ada satu pun ketentuan Tuhan tanpa mengandung hikmah di baliknya. Pintu hati mereka seakan terketuk. Terlihat besarnya cinta keluarga. Ibu, aku bisa melihat tetesan air mata yang bersumber dari penyesalan. Tak hanya fisik, hatimu turut sakit luar biasa. Rasa haru semakin menjalar, saat Intan kembali melunakkan ego akan kepedihan kenangan silam.

Sebagai anak balita yang tak pernah merasakan kasih sayang dari Ibu. Diabaikan, ditelantarkan, dan tak pernah dianggap sekalipun. Bukalah pintu maaf untuk wanita yang telah melahirkanmu Intan. Teringat bagaimana dia begitu membenci Ibu, tiba-tiba pikiranku melayang memutar waktu.

"Allah sudah mentakdirkan jalan hidup kita yang seperti ini, tapi percayalah. Bukan karena Allah tak adil atau pun kejam. Tapi karena Allah tahu kita begitu hebat dan kuat. Hingga mempercayai kita untuk melewati kehidupan seperti ini. Mbak tahu kamu anak yang baik. Maafkan Mbak tak bisa memberimu hal lebih. Mbak hanya bisa menemanimu dan melakukan yang terbaik sebisanya," bujukku pada Adik yang sedang kesal, karena keputusanku akan membawanya ke Jakarta esok hari.

Dia tahu meski belum kujelaskan tujuan kepergian kami, yang pasti dia telah menerka kalau tujuan utama adalah mencari Ibu. Selama ini Intan selalu benci. Muak bila ada seseorang yang membahas ibu. Terlebih selalu merasa minder pada teman dan orang-orang di sekitar yang sering membicarakan kondisi keluarga berantakan ini.

"Apa benar di sana dia jadi pelacur?" tanyanya terseguk, seraya menghapus air mata yang sudah membasahi sekeliling bantal di kepalanya. Aku semakin erat memeluknya dari belakang.

"Entahlah, jadi apa pun Ibu, yang jelas kita tetap berhutang budi padanya. Wanita itu sudah mengandung, melahirkan kita dan nyawa jadi taruhan. Bukankah kamu tahu sendiri kalau surga di bawah telapak kaki Ibu?"

"Apa mungkin masih ada surga di bawah telapak kaki wanita yang tidak bertanggung jawab seperti dia?"

"Sudahlah Intan, berhentilah! Itu urusan Tuhan, kita tak perlu mencampuri tugas-Nya. Yang jelas dia adalah wanita yang sudah membawa kita untuk mengenal indahnya dunia ini."

"Indah, Mbak? Apa ini yang disebut kehidupan indah? Bahkan lebih baik jika kita tidak pernah terlahir di dunia. Daripada kita harus menderita sepanjang hidup ini!" sergah Intan. Suaranya mengeras. Dia bangkit dan duduk melepaskan tanganku yang melingkar di tubuhnya.

"Astaghfirullah Intan, itu sama saja kamu tak menerima kehendak dan takdir Tuhan. Istighfar, Sayang. Tidakkah kamu merasa senang bisa bertemu denganku sebagai Mbakmu? Percayalah Intan, akan ada pelangi setelah hujan. Roda akan berputar dan membawamu ke dalam kehidupan yang lebih baik. Percayalah!" rayuku sekali lagi. Air matanya semakin  deras, mungkin bosan dengan bujuk rayuku selama ini, yang berharap dia tak lagi membenci Ibu apapun keadaanya.

"Maafkan Mbak, bagaimanapun sudah jadi kewajiban kita menyelamatkan ibu dari kondisi yang menyesatkannya itu."

"Intan nggak ikut, nggak sudi! Intan sudah nggak punya Ibu! Dia sudah mati sejak memutuskan pergi meninggalkan kita," rengeknya.

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang