Part 8

207 9 0
                                    

POV Reyhan

Seorang wanita paruh baya duduk di sofa saat aku baru masuk ruangan. Penampilannya masih sama dengan beberapa bulan lalu, elegan. Dia tersenyum ramah dengan mata berbinar. Mungkin berharap aku akan merespons positif perlakuannya itu.

Aku melangkah mendekat dan tetap berdiri di depannya yang masih duduk dengan santai. Memasukkan kedua tangan ke saku celana, lalu berujar, "Ada perlu apa ke sini?"

Dia menatapku saksama dan tersenyum semakin lebar. "Reyhan, apa kabarmu, Nak?"

Pertanyaannya memang terdengar biasa, tapi bagiku sangat memuakkan. Basa-basi. Tentu saja, karena dia tak pernah tahu bagaimana aku menjalani hidup selama ini.

"Apa ada sesuatu yang bisa saya bantu, Nyonya Komisaris?" Formal, adalah bahasa yang aku gunakan agar tetap bisa bertahan berbicara dengan wanita yang menyebutku 'Anak' tersebut.

"Reyhan, mama ke sini sebagai mamamu. Bukan sebagai komisaris," ujarnya tetap tersenyum, "bisa kita bicara dari hati ke hati?" Wanita itu menunjuk pada sofa di depannya agar kududuki.

Ingin rasanya aku keluarkan kata-kata kotor saat bertemu dengannya. Namun aku masih bisa menahannya. Jangankan untuk bicara dari hati ke hati seperti yang dia bilang, untuk mendengar suaranya saja sudah membuat emosi dalam hatiku bergejolak.

"Saya rasa Anda tahu ini jam kerja, dan saya tidak ingin dicap sebagai pimpinan yang makan gaji buta karena harus meladeni omong kosong dari seseorang saat jam kerja." Pedas, mungkin saja itu yang dia dengar dari ucapanku.

Senyum yang dari tadi dia sunggingkan, kini memudar. Dia mengambil cangkir teh di meja, lalu menyeruputnya tenang. Wanita ini sudah kebal dengan segala penolakanku, sehingga ada saja caranya untuk memancingku bicara dengannya.

"Rey, mama sudah berkali-kali minta maaf kepadamu atas kesalahan yang mama lakukan pada masa silam. Tidakkah hatimu terbuka untuk sekedar memaafkan kekhilafan yang bukan seratus persen kesalahan mama?"

Selalu kalimat itu yang menjadi andalannya. Aku tersenyum miring. "Bahkan saat ingin meminta maaf, kau tidak mau mengakui kalau semua yang terjadi itu adalah kesalahanmu sepenuhnya. Kau selalu bilang tidak seratus persen kesalahanmu?" ucapku sinis, "apa kau ingin menyalahkan orang yang sudah meninggal bertahun-tahun lalu atas dosa yang kau lakukan bersama kepa**t itu?"

Masih dengan posisi dia duduk dan aku berdiri di depannya, dia berujar, "Semua yang kau pikirkan, tidaklah seperti itu kenyataannya. Kesalahan bukan berasal dari mama sepenuhnya, tapi juga papamu! Mama khilaf dengan Om Frans karena keegoisan papamu juga. Dia yang menyebabkan mama berpaling darinya." Napasnya terlihat sedikit menggebu.

Aku tertawa sinis. "Terserah apa yang ingin kau katakan, aku tak peduli! Bagiku, seorang istri yang meninggalkan suami dan anaknya demi pria lain adalah sama saja dengan pelac*r murahan!"

Wanita itu sontak berdiri. Tatapannya tajam dengan mata berkaca-kaca. Dadanya naik turun menandakan bahwa sedang emosi.

"Kamu tega menyebut mama dengan kata-kata hina tersebut, Rey?" Sekarang wanita berambut cepak itu malah menangis.

"Mama pikir, saat kamu sudah dewasa, kamu akan bisa diajak bicara sebagai orang dewasa juga, namun ternyata mama salah. Kebencianmu pada mama sudah mengakar hingga tega menyebut mama dengan kata kotor."

Isak tangis kian menderanya. Tubuh kurus itu kembali melorot di sofa. Mungkin dia berpikir aku akan luluh melihat kondisinya seperti itu, tapi percuma. Bagiku dia tetap wanita kotor yang sukses menghancurkan kebahagiaan dalam hidupku.

"Silakan Anda ke luar. Saya ingin bekerja!" usirku padanya.

Untuk beberapa saat, dia tetap mengelap air mata yang keluar. Aku segera melangkah menuju kursi kerja tanpa memedulikannya. Bersikap masa bodoh adalah pilihan saat situasi seperti ini. Jangan sampai aku terbawa arus dan memaafkannya dengan mudah. Kesalahan yang dia perbuat bagiku adalah kesalahan fatal yang tak kan mudah kumaafkan.

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang