8. Arin tahu.

175 55 20
                                    

Satu Minggu sudah berlalu setelah proses operasi Langit. Ibu dan ayahnya semakin menyemangati Langit, Langit sendiri hanya tersenyum saat disemangati. Langit hanya merasa ia memang tidak bisa bertahan lama lagi di dunia. Langit selalu pasrah kepada Tuhan.

Langit sudah pasrah terhadap hidupnya.

Langit menghubungi Arin, menyuruh Arin untuk datang ke rumahnya. Arin sempat bertanya, kenapa? Tetapi Langit tidak menjawab, malah terus menyuruh Arin untuk datang. Arin datang karena takut ada yang terjadi pada sahabatnya. Mengingat sudah satu Minggu sahabatnya tidak ada kabar, dan juga terakhir mereka bertemu wajah sahabatnya terlihat pucat.

Saat Arin datang dan masuk ke kamar Langit, ia disuguhi dengan wajah pucat sahabatnya yang sedang duduk di ranjang. Langit menyuruh Arin mendekat. Mata Arin berkaca-kaca, sahabatnya nampak sangat menyedihkan saat ini. Arin menggenggam tangan Langit yang terasa dingin.

"Lang, kamu kenapa?! Aku datang kok kamu jadi seperti ini?! Apa yang kamu tutupi?!" Langit hanya tersenyum. Senyum terlemah yang pernah Langit tunjukkan pada Arin. Sorot matanya memancarkan kelelahan. Langit terlalu lelah dalam kondisi seperti ini.

"Kamu sudah berteman baik dengan Nara?" Arin mengangguk mengiyakan. Sejak Langit tidak ada kabar, Arin selalu mengunjungi Nara. Bertanya padanya ia bertemu dengan Langit atau tidak. Dan sejak itu juga, keduanya menjadi dekat.

"Saya... terkena leukimia, Arin," katanya masih dengan senyum lemah. Arin menggeleng, ia tidak percaya. Sahabatnya tidak mungkin divonis mengidap kanker! Arin melepas genggamannya pada Langit, menatap Langit tidak percaya.

"Kamu jangan bercanda! Aku nggak pernah suka sama candaan kamu yang nggak lucu!" Sayangnya Langit menggeleng. Senyum lemah tetap terlukis di bibirnya. Langit tidak akan menghapus senyum tersebut. Bulir air mata mulai mengalir, menghiasi wajah cantik Arin.

"Kenapa... kenapa kamu menyembunyikan ini, Langit? Kenapa?" tanyanya sambil terisak. Langit menghapus air mata sahabatnya. Ia mulai tersenyum lebar— senyumnya tidak selemah tadi.

"Hei, sejak kapan sahabat saya pintar menangis seperti ini?" Gagal. Langit gagal menghibur sahabatnya itu. Karena ucapannya, Arin semakin menangis. Arin kecewa pada dirinya sendiri. Kenapa ia tidak pernah berpikir bahwa sahabatnya terkena penyakit serius?

"Arin, masih ingat, 'kan yang saya bilang?" Arin tidak menjawab. Ia mulai menghentikan tangisannya. Ia menatap Langit yang masih tersenyum.

"Kamu juga harus ingat, Langit..."

"Ingat apa?"

"Aku juga selalu sayang kamu." Langit memeluk sahabatnya— ia menganggap ini sebagai pelukan terakhirnya. Arin membalas pelukan erat Langit. Di dalam hati ia berharap, bahwa Langit dapat bertahan lebih lama lagi.

Langit melepas pelukannya, menatap Arin yang juga menatapnya. "Bisa bantu saya, Arin?" Dengan cepat Arin mengangguk mengiyakan.

"Bantu saya ketemu tujuan terakhir saya." Arin menatap Langit bingung, siapa tujuan terakhir sahabatnya?

"Siapa?" Langit tersenyum tipis sebelum menjawab.

"Nara." []

HAPPY ENDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang