Bonus: Malam dengan Hujan.

300 51 25
                                    

Nara menggunakan kaos hitam polos, dengan tambahan jaket yang Langit berikan kala itu. Nara tersenyum tipis melihat jaket yang melekat di tubuhnya. Nara merindukan Langit, sangat-sangat merindukan seseorang yang membuatnya bahagia itu— walau hanya sebentar.

Nara bekerja di cafe yang lumayan jauh dari rumahnya. Ia harus menaiki bus untuk pergi ke cafe tersebut. Setiap hari Nara harus ke halte yang penuh dengan kenangan manis, namun menyesakkan. Nara selalu mengingat kenangannya bersama Langit. Ia masih mengingat Langit yang memberinya roti.

Nara tersenyum miris, mau sampai kapan ia menangisi kepergian Langit? Mau sampai kapan ia membuat Langit sedih di sana? Nara tidak mungkin, 'kan menghabiskan hidupnya hanya untuk menangisi Langit?

Namun, dua tahun yang sudah berlalu tetap membekas seperti luka yang tidak dapat diobati.

Nara menaiki bus yang baru saja datang. Ia menatap ke tempat yang ia yakini menjadi momen pertemuannya dengan Langit melalui jendela bus. Tanpa sadar, air matanya kembali mengalir— Nara kembali menangisi Langit. Dengan cepat, Nara menghapus air matanya. Ia mengingat salah satu kalimat dari surat yang Langit berikan untuknya.

Jangan pernah gunakan mata kamu untuk menangis.

Nara tersenyum tipis saat membayangkan Langit yang sedang tersenyum. Langit memang sudah tidak ada lagi di dunia, Langit sudah tidak ada lagi di sisi Nara. Tetapi, Langit akan selalu ada di hati Nara, sampai kapanpun itu.

 Tetapi, Langit akan selalu ada di hati Nara, sampai kapanpun itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang jam setengah sembilan. Nara sudah selesai bekerja, ia pamit pulang lebih dulu kepada temannya yang sedang menunggu jemputan. Ia berjalan menuju halte, kemudian duduk untuk menunggu bus. Hujan mulai turun, awalnya tidak begitu deras. Saat bus datang, hujan menjadi deras.

Nara duduk di dekat jendela bus- seperti biasanya. Ia menatap ke arah jalanan. Earphone terpasang di telinganya. Entah lagu apa yang Nara putar, yang ia inginkan hanya sunyi menghilang. Nara memejamkan matanya, ia lelah sekali hari ini. Padahal, hari ini berjalan seperti biasanya.

Bus mulai berhenti di halte tujuan Nara, diikuti oleh Nara yang turun dari bus tersebut. Hujan deras masih mengguyur kota Jakarta. Sekarang jauh lebih deras lagi dibanding saat Nara sedang menunggu bus.

Langit, kamu bahagia di sana?

Nara menghembuskan napasnya pelan. Berharap setelah ini ia akan tenang dari bayang-bayang Langit yang hinggap di kepalanya. Cuplikan dua tahun yang lalu seakan terputar di kepalanya. Hujan deras dan Nara yang terjebak, di halte mereka bertemu untuk pertama kalinya. Juga... halte yang menjadi pertemuan terakhir keduanya.

Nara duduk di halte tersebut. Ia malas sekali untuk pulang kalau berujung basah karena terguyur hujan. Lebih baik Nara menunggu hujan reda— walau pada akhirnya Nara juga harus pulang hujan-hujanan.

Nara melihat laki-laki dengan balutan hoodie hitam berdiri tidak jauh darinya. Ia sedang melihat ke arah hujan. Apakah laki-laki itu menyukai hujan juga?

Laki-laki tersebut sepertinya merasa kalau ia diperhatikan. Ia tidak lagi menatap hujan. Sekarang, ia melihat ke arah Nara. Nara berdiri dari duduknya dengan terkejut. Jantungnya berdetak agak cepat. Nara melangkah, sampai akhirnya ia berada di hadapan laki-laki tersebut.

"Langit?" katanya dengan lirih. Laki-laki itu menatap Nara dengan bingung. Langit itu siapa? Perempuan di hadapannya ini juga siapa?

"Maksudmu?" Nara menatap Langit tidak percaya. Bisa-bisanya orang di hadapannya ini bertanya apa maksud Nara. Apa Langit lupa dengan Nara? Tidak, 'kan? Lantas, kenapa Langit terlihat kebingungan seperti ini?

"Jangan pura-pura tidak tau, Langit. Ini kamu, 'kan?" Mata indah milik Nara mulai berkaca-kaca. Laki-laki di hadapannya itu tambah kebingungan. Setelah ucapan aneh perempuan di hadapannya, ia menangis?

"Hei, saya tidak mengerti maksudmu. Saya bukan Langit, orang yang kamu maksud. Lagipula, saya nggak kenal siapa itu Langit," katanya. Laki-laki tersebut mengusap air mata Nara yang mengalir.

Nara bungkam, apa ini hanya halusinasi Nara? Bukan, 'kan? Kenapa laki-laki di hadapannya tidak mengaku bahwa ia adalah Langit? Laki-laki tersebut menghela napas sebelum berbicara.

"Jangan panggil saya Langit, karena saya salah satu hiasan dari Langit malam— Bintang." []

— SELESAI —

Ini bonus untuk para pembaca Happy Ending :"
Maaf jika bonusnya tidak sebagus itu :D
Sekian dari saya, terima kasih. Sampai jumpa lain waktu 👋🏻

Bintang Radhika Pratama.

Bintang as Langit versi bad boy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bintang as Langit versi bad boy.

HAPPY ENDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang