The 1st January - Tempatku

495 71 4
                                    

Aku tersenyum melihat kamu yang keluar dari pintu kedatangan. Rimowa silver yang kamu seret dengan malas terlihat sangat berat, membuatku bertanya-tanya selama apa kamu menatap di sini? Apakah selama itu juga aku mampu tetap menyembunyikan segalanya?

Kamu berhenti tepat di depanku. Tanganmu terulur merengkuh ragaku. Kamu mengecup keningku, membuatku terpaku, hanya bisa mengeratkan cengkramanku di jaketmu. "I miss you," bisikmu lirih.

Aku mendongak. Pandanganku seakan menembus retinamu. Kamu mencebik menyadari aku tidak membalas ucapan rindumu. "Masih enggak mau mengaku kalau kamu rindu?"

Aku menggeleng. Lalu memilih membalas pelukanmu, sama eratnya. Semoga saja, rindu kita menguap bersama dengan dekapan ini.

"Waduh, erat banget. Serindu itu ternyata," godamu lagi. Aku hanya menggigit bahumu sebal. Kamu memekik. "Baru sampe sudah mau gigit-gigitan aja," katamu sambil tertawa.

Aku mengurai pelukan kita, meninju dadamu, dan berlalu sambil menghentakkan kaki. Aku masih bisa mendengar tawamu yang membuatku ikutan menyengir. Tawamu masih semenular itu ternyata.

"Aku enggak menyangka ternyata rasanya senyaman ini melepas rindu. LDR ternyata seberat itu ya?"

Kita berdiri dipisahkan sebuah mobil. Aku menatapmu dengan bingung. "Kamu LDR-an sama siapa? Lantas, buat apa kamu ke sini kalau begitu?" tanyaku seraya menekan kunci remote mobil.

Kamu mengikuti masuk ke mobil. Kamu duduk di kursi penumpang, sementara aku sudah memegang stir kuat-kuat sambil meredam emosi. Kamu tertawa lagi.

"Aku ke sini buat mengejar matahari," bisikmu tepat di telingaku. Tubuhku meremang teringat percakapan kita waktu itu.

Aku berusaha menguasai diriku. Kali ini tidak akan terlena lagi. Satu tahun berlalu, terlalu banyak cerita yang kamu tidak tahu. Aku pikir, lebih baik seterusnya begitu.

"Yaudah, mau jalan-jalan kemana nih?"

Kamu menggeleng. "Aku pulang untuk kamu, bukan untuk jalan-jalan, Nirmana. Aku pulang untuk berbicara tetang pembicaraan yang kamu bilang tidak bisa dilakukan lewat telepon."

Aku memalingka muka ke jendela di sebelah kananku. Kamu masih  sama. The Ghafar always straight to the point.

"Ya sudah. Mana alamat hotelmu? Kamu butuh istirahat. Kita berbicara besok saja."

Kamu kembali menggeleng. Aku memperhatikan wajahmu yang menatapku dengan pandangan melesu. "Aku enggak pesan hotel. I expect to stay at your place."

Aku sukses melongo. Tidak mungkin! Semua rahasia ini akan—ah, Tuhan, cobaan apa lagi ini?

SATU BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang