Kamu menepis jarak diantara kita. Kamu mendekat dan berlutut di depanku. Kamu menggengam jemariku sementara dahimu bertumpu di lututku. Aku tahu kamu menangis karena lututku yang tak tertutupi celana bisa merasakan tetes air matamu. Aku hanya bisa membuang tatapanku ke arah jalanan yang tampak lewat sela-sela besi pagar.
"Aku tidak bisa menjanjikanmu kehidupan di sini, Nirmana. Aku juga tidak bisa memaksamu ikut denganku. Tapi, aku akan sangat bahagia jika kamu dan Arkana ikut denganku. Kita bisa menikah di sini, dan memulai kehidupan di sana."
Apa katamu, menikah? Aku masih bergeming.
"Aku tidak bisa mengumbar kata cinta. Kita bertemu saat keadaan berantakan, kamu tahu itu. Yang bisa aku pastikan, bahwa kehadiranmu berpengaruh untukku. Sekuat apapun aku berusaha, tapi malam itu, malam yang mungkin menurut semua orang adalah kesalahan, malah menjadi malam paling indah yang tidak bisa aku lupakan, Nirmana. Sekuat apapun aku berusaha, aku masih ingat teriakan kita, peluh kita, dan puncak kenikmatan itu masih jadi yang paling nikmat ...."
"Stop!" Aku menggentikan kalimatmu. "Apaan sih kamu!" Aku bahkan menjitak kepalamu. Aku tahu kamu berusaha romantis atau apapun itu, tapi malah terdengar sangat memalukan.
"Intinya, Nirmana," kamu mendongak sebentar menatap mataku sebelum mengubah posisimu menjadi bersandar di kakiku dan melanjutkan ucapanmu, "aku ingin bersama kamu, tapi aku tidak bisa ada di sini."
Aku memainkan rambutmu. Dengan gugup aku bertanya, "kenapa?"
Aku bisa mendengar kamu mengembuskan napas panjang. Entah kenapa, perasaanku mengatakan bahwa kamu akan menceritakan sebuah rahasia yang kamu tutupi selama ini.
"Kamu ingat, aku pernah bercerita bahwa aku pernah tinggal di sebuah rumah panggung di perdesaan?"
Aku mengangguk. Walau kamu tidak lihat karena pandanganmu kosong menatap taman di depan kita, tapi kamu tahu aku menjawab. "Aku dulu tinggal di sebuah desa di pinggir pantai di ujung Sumatera, tepatnya Aceh. Hingga tsunami datang, meluluhlantakkan desaku dan merenggut seluruh keluargaku."
You've no idea about his life before ... it's not my story to tell. Tiba-tiba ucapan Refa saat telepon tempo hari terngiang di kepalaku. Jadi, ini maksudnya? Aku sama sekali tidak pernah tahu tentang ini.
"Aku trauma berat. Aku di pindahkan ke Medan bersama korban lainnya, tapi tidak memperbaiki kondisiku. Lalu, aku dititipkan ke ibukota, tapi sama saja. Hingga akhirnya pemerintah bekerjasama dengan sebuah NGO membantuku untuk bisa memulai hidup baru di Amerika. Kondisiku berubah 180 derajat, aku bahkan bisa tidur nyenyak tanpa terbayang peristiwa mengerikan itu. Sejak saat itu, aku tidak pernah berpikir untuk kembali ke Indonesia. Sampai telepon kita saat itu ...." Kamu menghentikan ceritamu ketika aku menyengkram bahumu.
Whatever, i just think that's a bad idea. Aku cuma mau titip Ghafar. Lagi-lagi ucapan dia terngiang. Kini aku bisa paham. Aku pasti kembali menghidupkan kenangan pahit kamu 'kan, Ghafar? Jahatnya aku, makiku pada diriku sendiri.
Kamu mengambil jemariku yang berada di pundakmu. Kamu meremas dan memainkannya pelan, seakan memberitahuku bahwa kamu bisa dan memang mau melanjutkan ceritamu.
"Aku pikir, aku baik-baik saja saat kembali di sini. Aku tidak mengalami serangan panik di pesawat. Bahkan, aku tidak segera berbalik membeli tiket kembali saat menginjakkan kaki di bandara Soetta. Sampai tadi malam, meski dibawah pengaruh obat anti sakit yang diberikan kakakmu, aku tidak bisa tidur tenang, dan mimpi itu kembali lagi. Jadi, aku tahu, aku tidak bisa berada di sini, Nirmana."
Kamu membawa jemariku ke depan bibirmu, mengecupnya bahkan menggigitnya kecil. Aku terhentak dan memekik kecil. Kamu tertawa, tawa renyah yang selalu aku kagumi. Kamu memutar kepalamu menghadapku. Kita saling tatap. "Tapi, bukan berarti aku tidak ingin bersama kamu. Jadi, menikah denganku, Nirmana. Ikut denganku dan kita akan memulai hidup baru. Aku tidak bisa menjanjikan bahagia selamanya, tapi setidaknya, aku tahu kita akan hidup nyaman karena kita punya satu sama lain dan juga Arkana, pastinya."
Aku tersenyum. Bahkan, aku tidak bisa menahan tawa bahagia karena mungkin ini adalah kalimat terpanjangmu sejak kita bertemu satu tahun lalu. Aku menangkup rahangmu, membiarkan bulu-bulu halus itu menusuk telapak tanganku. Aku juga membelai halus luka di sudut bibirmu, buah tangan abang-abangku. Aku bisa melihat kamu mengernyit dan menutup mata sekilas ketika aku memegang luka itu. Aku suka ekspresi itu, kamu khawatir sakit tapi kamu tidak menghindar, tanda bahwa kamu mempercayaiku. Lagi-lagi, aku tertawa renyah. Sejak kepulanganmu, aku jadi sering tertawa lagi, aku juga suka fakta itu. Jadi, "Let's get married and move to New York," putusku.
Matamu yang sedari tadi membulat dan nanar, kini melebar tak percaya mendengar jawabanku. Aku terpaksa mengangguk berkali-kali untuk meyakinkanmu. Kamu tersenyum semringah. Aku tahu, kamu hendak menyambar bibirku, tapi aku menahanmu. Alih-alih, aku membawakmu kepelukanku. Dengan jahilnya, kamu menggigit kecil telingaku sehingga mau tidak mau memekik tertahan. "That's it. Itu teriakan yang tidak akan aku lupakan dari malam itu." Kamu berbisik menggodaku, yang aku respon dengan tawa dan cubitan di pinggangmu. Aku juga tahu, dibalik tirai yang menutupi jendela yang ada dibelakangku, ibu yang tengah menggendong Arkana juga tersenyum bahagia melihat aku dan kamu.
====== THE END ======
Akkk! Tamat! Hahahaha
Semoga kalian suka ya sama ceritanya, sama endingnya.
Maaf, butuh waktu lama untuk sampai di sini untuk cerita sependek ini😭
Plis, kasih kesan pesan kalian dong selama baca cerita ini❤️
Apa yang kalian suka? Adegan favorit? Apa yang ga kalian suka?
Cerita ya. Aku tunggu loh❤️
Kita berpisah di sini, tapi wajib ketemu lagi di lapak sebelah ya🤣With love,
Adhistr

KAMU SEDANG MEMBACA
SATU BULAN
Random[COMPLETED] Satu bulan aku bertemu dengannya, seluruh hidupku kini berubah - 30 Daily Writing Challenge by Nusantara Pen Circle. Sampul magis by @pandu_an.