Aku mengernyit ketika layar ponselku menunjukkan namanya. Nama laki-laki yang harusnya kini menjadi suamiku. Satu kali, aku diamkan. Tak sampai satu menit, ponsel itu berdering lagi.
"Halo," sapaku.
"What the hell are you thinking?!" Aku terperanjak dari dudukku. Aku terkaget saat dia mengumpat dari ujung benua sana.
"Wow. Setelah satu tahun tidak ada kabar. Kamu kembali dengan umpatan? Sungguh ramah kamu, ya." Sarkasme.
"Kamu gila ya?" Dia lagi-lagi memaki.
"Kamu enggak salah? Kamu menghubungi orang, lalu berteriak marah tanpa alasan yang jelas."
Aku mendengar dia berdeham. Mungkin, menata kembali emosinya. "Apa sih yang kamu pikirin? Kamu paksa Ghafar pulang ke Indonesia?"
Aku mengernyit dengan pertanyaan Refan. Kalau pun iya, itu bukan urusannya. "Why it's bothers you? That's none of your business."
"You've no idea what you did," terangnya.
"Ck. Non-sense," decakku
"Kamu tuh enggak tahu apa-apa tentang hidup Ghafar, dan sekarang kamu cuma bakalan hancurin hidup dia. You've no idea about his life before."
"Kamu itu ngomong apa sih, Refan? Aku enggak ngerti. The only thing that i've no idea about is this call. Kamu yang gak tahu apa-apa tentang aku dan Ghafar. We walked out of your life since the day you marry her. Kamu enggak berhak memberitahu apa yang harus aku dan Ghafar lakukan."
Dia tertawa. Dalam hati aku berpikir mungkin memang dia sudah gila. "Aku enggak tahu apa-apa tentang kamu dan Ghafar?" Dia kembali tertawa. Tawa yang meremehkan. Aku benci mendengarnya. Lalu dia melanjutkan, "aku bahkan tahu hal besar yang kamu sembunyikan dari Ghafar."
Aku tertegun mendengarnya. Memang benar, dia tahu. Bahkan aku harus mengancamnya jika dia mau aku maafkan, dia harus tetap dia mengunci mulutnya. Aku memilih menyerah dengan perdebatan tidak masuk akal ini. "Aku tidak memaksa Ghafar pulang seperti yang kamu tuduhkan. Dia pulang dengan kemauannya sendiri. Mungkin, memang ada sesuatu yang menurutnya harus kami bicarakan."
"Whatever, I just think that's a bad idea. Yang jelas, aku cuma mau titip Ghafar," katanya lirih. "Dia tetap sahabatku, walau apapun yang terjadi satu tahun kebelakang. Jadilah pegangannya."
Aku diam sembari mengerutkan kening. Is this a drunk call? Dia membaca pikiranku. Buktinya dia menjawab, "I'm not drunk."
"Kenapa dengan Indonesia?" Aku menyuarakan pemikiranku.
"Like your favorite quotes, it's not my story to tell," ucapnya sebelum memutuskan sambungan telepon.
Dasar. Enggak sopan, gerutuku dalam hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
SATU BULAN
Aléatoire[COMPLETED] Satu bulan aku bertemu dengannya, seluruh hidupku kini berubah - 30 Daily Writing Challenge by Nusantara Pen Circle. Sampul magis by @pandu_an.