Prologue

1.3K 369 485
                                    

Cobalah tersenyum karena hal kecil, maka 'bahagia' akan menjadi hal yang paling mudah dilakukan

***

Pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan kecil yang hidup di tepi kota. Pemimpin kerajaan tersebut merupakan seorang lelaki berwibawa yang memiliki segudang cara untuk membuat keluarganya bahagia. Ia berusaha untuk memenuhi segala aspek kebutuhan mulai dari sandang, pangan, dan papan. Istrinya, seorang wanita berparas malaikat dengan tampilan yang sederhana. Sisi cantiknya seolah tak pernah pudar meski dimakan usia.

Pasangan tersebut dikaruniai tiga buah hati. Si sulung adalah gadis manis yang hiperaktif, kadang jahil dan nakal, namun selalu bisa membuat banyak perhatian orang terarah padanya saat ia berbicara. Berbeda dengan adik pertamanya, yang mewarisi kewibawaan dari sang Ayah baik ketekunannya saat melakukan suatu pekerjaan maupun di dalam keluarga. Lain lagi dengan si bungsu, karakternya nyaris menyamai sang Ibu. Dari cara ia mengomel dan bertingkah laku, bahkan ia selalu menempel dan mengikuti kemana pun Ibunya pergi.

Setiap pagi, mereka menghabiskan waktunya untuk---

Akia tersenyum kecil tatkala membaca sebuah buku masa kecilnya yang tidak sengaja ia jumpai di bawah tempat tidur. Masih tampak bagus meskipun terdapat noda kuning di beberapa halaman akibat terkena tetesan air hujan. Lucu juga kalau mengingat bagaimana Saras harus membacakan dongeng tersebut sebelum ia dan adik-adiknya masuk ke alam mimpi.

Gadis itu melirik jam beker yang berada di atas nakas, "Sekolah woy, sekolah!" ucap Akia menyemangati diri sendiri.

Tak mau membuat adik pertamanya mengomel, Akia segara bergegas turun ke bawah untuk bersiap-siap.

"Yah, nanti Arial pulang bimbel mampir ke rumah Fikry boleh ya?" ujar laki-laki berseragam putih biru yang sedang menenteng jaket dan tasnya.

"Ngapain?"

"Mau bereksperimen demi kelangsungan hidup manusia, Yah." jawaban Arial sukses membuat Hardian terkekeh namun pria tersebut tetap mengiyakan.

"Bilang aja main, susah amat!" celutuk Akia yang berjalan tergesa-gesa menuju rak sepatu.

Kemudian ketiganya berjalan keluar rumah, hendak bersiap melakukan aktifitas. Hardian bekerja, Arial bersekolah, Akia bersekolah, Alvan bersekolah, dan tersisa Saras yang akan merawat rumah.

"Sepatunya dipakai yang benar, Akia. Itu Ayah belinya gak modal senyuman doang," Hardian mengingatkan.

"Ayah sudah bersabda tuh, dengerin." Akia memutar bola matanya, kesal sudah kalau Arial ikut-ikutan bicara.

Lalu muncul sosok wanita berdaster biru yang hendak menjemur pakaian. Rambutnya digulung asal-asalan mirip ibu indekos.

"Tas kamu laper apa gimana? Masih mangap-mangap minta jatah nasi bungkus begitu," mata Saras mengarah pada tas putrinya yang masih terbuka.

Akia tersenyum kikuk kemudian segera menurup resleting tasnya yang terbuka "kesalahan teknis, Bun."

"Nanti pulang sekolah ada kegiatan apa?" tanya Hardian layaknya seorang Ayah yang selalu memantau kegiatan putrinya.

"Latihan rutin kaya biasa, tapi mungkin terlambat pulang. Sensei baru bisa ngelatih jam lima, " jawab Akia tanpa dibubuhi kebohongan, apalagi garam dan lada.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang