9. Emak-Emak

301 143 211
                                    

Where there is death will always be death.

***

"Ini feeling gue doang apa kalian emang lagi ribut?" Alvan menatap kedua kakaknya bergantian, "Ributin apa sih? Harta gono-gini? Warisan?"

Atmosfer ketegangan antara Akia dan Arial begitu terasa pasca pertengkaran keduanya semalam. Tatapan mereka sangat tidak bersahabat, Akia yang tampak enggan melihat Arial dan Arial yang mengeluarkan aura mengerikan saat melihat Akia bergabung sarapan.

Meskipun Alvan sudah terbiasa dengan mata elang Arial, tapi ia tidak terbiasa melihat kedua kakraknya perang dingin. Padahal kan, enak yang anget-anget.

"Yah, ini dua keturunan Ayah kenapa? Bisulan di lidahnya kok barengan?"

Sembari memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut, Hardian menggeleng tidak tahu. Keadaan pria itu kini membaik, terbukti dari penampilannya sekarang––setelan kemeja formal juga tentengan tas kerja. Akia bersyukur dalam hati melihat Hardian memulai kembali aktivitasnya.

"Ayah mau kerja?"

"Ayah mau ngurus sesuatu hari ini," jawab Hardian, "Akia habis pulang sekolah bisa ke Bakery?" Akia mengangguk patuh.

Sebulan sekali Hardian memintanya agar mengecek toko kue milik Saras yang sekarang dikelola oleh Hawa, adik bungsu Hardian. Karena Saras anak tunggal dan tidak ada yang menghandle toko, jadilah Hardian mengutus adiknya.

"Bang Arial bisa jemput Alvan?" tanya Hardian lagi, "Ayah gak bisa jemput soalnya."

"Arial ada urusan,"

Mendengar jawaban Arial, Akia sontak berdecih tidak suka. Saat hendak menyahuti Hardian malah lebih dulu berbicara.

"Urusannya lebih penting dari Alvan, Bang?"

Laki-laki bermata elang itu terdiam sesaat.

"Iya,"

"Yaudah, Alvan naik ojol gak papa?" Hardian tidak mau memperpanjang masalah.

"Akia bisa jemput Alvan," putus Akia.

"Gak usah, Teh. Gue mau main ke tempat Sony, sekalian nyelesein project film." Alvan melahap suapan terakhirnya.

"Pulangnya naik apa?" Giliran Hardian yang bersuara.

"Ada baling-baling bambu kok, Yah. Lagian rumah Sony cuma tiga blok dari sini. Gak sejauh antartika sama antarkita," kata Alvan, kemudian terkikik sendiri.

"Aku nanti pinjem ya baling-balingnya? Fosil di bumi kayanya udah berkurang, bensin jadi mahal deh!" Akia pura-pura memberengut.

Seolah mengerti, Hardian merogoh saku celananya lalu menyodorkan selembar uang berwarna hijau. Walaupun bukan si biru atau si merah, Akia tidak protes. Apapun yang berwujud duit, Akia menerimanya dengan senang hati.

"Karena nolak rejeki itu pamali, uangnya Akia terima ya, Yah?" Hardian berdeham.

"Terpujilah engkau wahai Ayahku Pahlawanku," Akia menyalimi tangan Hardian.

Mereka kembali fokus pada sarapan masing-masing. Alvan dan Hardian selesai lebih dulu, berbeda dengan Akia yang mengambil porsi keduanya. Seperti kata pepatah, perut kenyang hati pun senang.

"Teman Arial udah dateng," Arial berdiri sambil menenteng tasnya, "Arial berangkat dulu,"

Ketiga manusia yang tersisa di meja makan hanya memandang kepergian Arial dengan helaan napas panjang, Akia terutama. Ia harus meluruskan permasalahan ini, takutnya menumpuk jadi sampah masyarakat kalau terus dibiarkan.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang