6. Cendol Dawet (2)

398 227 184
                                    

Masa lalu pernah membuatmu jatuh, tapi jangan lupa ingatkan dirimu untuk bangkit. Masih banyak orang mengharapkanmu.

***

"Udah Akia duga, Ayah pasti ngiler kalo sama ini!"

Pelan-pelan Hardian meraih plastik berisi cendol dawet itu, bersamaan dengan senyum Akia yang sirna ketika melihat setetes air mata turun dari mata ayahnya.

"Ayah?" Gadis itu mengguncang pelan lengan Hardian. "Ayah kenapa nangis? Ayah gak suka cendol dawet ya? Akia salah ya?"

"Kita pulang aja."

Tidak setuju mendengar perkataan Hardian, Akia menggeleng protes. "Loh kok pulang, Yah? Kita kan baru sampe, belum juga setengah jam."

"Bunda pasti marah kalau Ayah ke sini gak pamit sama dia," Hardian mengusap wajahnya frustasi, "Ayah gak mau Bunda marah."

Seperkian detik dunia pertahanan Akia seakan didobrak hancur berantakan. Bertanya sampai kapan ia harus terjebak bersama suramnya ilusi? Tetap memaksa kehadirannya padahal semua itu hanya akan mengikis kewarasannya perlahan-lahan. Dan berakhir hidup dalam bayang-bayang kematian seseorang.

"Bunda gak akan marah kok. Ayah gak usah takut, nanti aku yang jelasin ke Bunda."

Bunda pasti marah, sangat-sangat marah. Batin Akia lelah.

"Ayah cuma gak mau bikin Bunda khawatir, Nak."

Entah bagaimana harus merespon, bibir Akia terkatup rapat. Lidahnya terasa kelu bahkan untuk berbicara. Mungkin ia salah membawa Hardian kemari, yang justru semakin menyakiti pria itu. Niat hati ingin menyenangkannya, tetapi yang tersirat malah goresan luka.

"Maafin Akia, Yah." Akia berkata sangat pelan, nyaris tak terdengar.

"Ayo kita pulang, biar Bunda gak marah sama Ayah." lanjutnya pasrah, selalu kalah telak setiap saat.

Merasa tak ada pilihan lain, Akia membawa Hardian pulang. Kalau mulutnya terus menolak ia yakin situasi di antara mereka akan memburuk, dan Akia tidak ingin hal itu terjadi.

Untuk menemukan mobil Hardian tidaklah sulit, karena sangat mencolok di area parkir. Wrangler Jeep Rubicon hitam tahun 2010 yang ia namai 'Si Jumbo', walaupun sedikit kuno tapi setidaknya mobil itu masih tampak keren. Bahkan Akia selalu bangga saat menaikinya, seperti berpetualang bersama Upin-Ipin demi mencari jodoh.

"Ayah mau beli sesuatu dulu sebelum pulang?" tanya Akia begitu pantatnya mendarat di kursi pengemudi.

Hardian menggeleng samar. Matanya terpejam, terlihat memikirkan sesuatu.

"Oke kita pulang."

***

Perjalanan pulang seakan berlangsung selamanya, sama sekali tidak ada percakapan atau obrolan barang sedikit pun. Hardian yang diam membisu dan Akia memilih fokus terhadap jalanan di depannya, beberapa kali terjebak macet membuat mereka tiba di rumah meleset beberapa menit dari waktu perkiraan.

Gerbang rumah tertutup rapat seperti pesan Akia sebelum pergi. Gadis itu mengklakson dua kali, sebab terlalu malas turun membuka gerbang.

"Assalamu'alaikum, Raja Salman dan anaknya pulang!" teriak Akia, berharap yang di dalam rumah mendengarnya.

Seorang anak laki-laki berkaus hitam muncul dari balik pintu, tergopoh-gopoh menuju gerbang. Raut wajahnya memberengut kesal, "Tinggal turun apa susahnya, sih? Pake segala teriak-teriak, di kata ini komplek moyang lo apa?"

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang