Kadang hati tidak lagi merasakan apa-apa, karena kita terlalu sering membiarkannya terluka.
***
Gadis itu termenung cukup lama. Mengamati Hardian yang tertidur akibat bius obat penenang, wajahnya tampak tenang dan damai saat menutup mata. Seolah telah melepas beban dipundaknya, membiarkan luka di hatinya berganti dengan kedamaian. Akia ingin menangis, tapi semua itu tiada guna. Jauh dalam lubuk perasaannya, ia dapat merasakan kemarahan dan kepiluan yang melekat di sana.
Akia menarik selimut Hardian sampai sebatas dagu. Melapisi pria itu dengan kehangatan, berharap supaya keadannya membaik. Lantas Akia melangkah keluar penuh kehati-hatian, tidak ingin Hardian terbangun akibat suara sekecil apapun. Berada di ruangan itu hanya akan mengiris hatinya, terus-menerus.
Selepas menutup pintu kamar Hardian, Akia menghampiri seorang pria berkemeja putih yang sedang berbincang dengan kedua adiknya. Ia sangat bersyukur karena tanpa pria itu tak menutup kemungkinan Hardian akan menyusul Saras. Namun di satu sisi, ia telah berhutang banyak--sangat-sangat banyak. Akia bahkan tak tahu bagaimana cara membayarnya.
"Makasih banyak, Om. Maaf ngerepotin terus," ucap Akia tanpa mengurangi rasa hormat pada pria itu.
Hammam tersenyum, "Gak usah dipikirkan. Hardian udah jadi tanggung jawab Om," lantas ia menepuk pundak keponakannya, "Ayo, ada yang mau Om bicarain sama kamu."
Perasaan Akia mendadak khawatir. Ia menoleh ke Arial dan Alvan, "Titip Ayah sebentar."
Tanpa membantah gadis itu mengekor Hammam yang sudah berjalan menuju halaman belakang rumah, membuat Akia dirundung gelisah. Meskipun Hammam adalah pamannya sendiri, tapi ia masih canggung untuk bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Seperti sekarang.
"Ada apa, Om?" tanya Akia begitu mereka telah menemukan tempat strategis untuk berbicara empat mata.
"Ada beberapa hal yang perlu diwaspadai soal Hardian," pria itu menghela napas sebelum melanjutkan, "Kejadian tadi, bisa timbul kapan saja, untung Om bisa handle ayah kamu sebelum dia melakukan sesuatu yang jauh diluar dugaan."
"Mulai sekarang, awasi ayahmu sesering mungkin. Jangan tinggalkan dia sendiri, ajak ngobrol, liburan, apapun biar kondisinya tetep stabil. Psikoterapi yang Om terapkan sama Hardian gak bisa berlangsung setiap hari, kamu tau Om masih ada praktek di rumah sakit, kan?" kata Hammam terlihat berusaha memilah kata-kata.
"Kesedihan adalah respon normal untuk berkabung, orang yang mengalami respon berkepanjangan bisa berdampak pada fungsi dan memiliki efek merugikan pada kesehatan. Jika diagnosis Om benar, Hardian punya persoalan yang sama dengan penderita PGD."
Prolonged Grief Disorder atau biasa disingkat PGD merupakan gangguan kesedihan yang berkepanjangan mengacu pada sindrom yang terdiri dari serangkaian gejala yang berbeda setelah kematian orang yang dicintai.
"Semakin banyak obat yang dikonsumsi Hardian, maka kondisinya semakin menurun. Semakin menyiksa dia secara fisik maupun mental, Om hanya melakukan itu karena terpaksa dan tidak ada jalan lain. PGD bisa berakibat fatal kalau gak ditangani dengan baik," Hammam menjelaskan, raut wajahnya berubah muram.
Pria itu tahu Akia pasti akan merasa terguncang, terbukti gadis itu tidak merespon sama sekali. Terdapat aura kesedihan menyelubunginya.
"Kamu denger apa yang Om bilang, kan?"
Suara berat Hammam menyentak Akia dari lamunannya, ia mengangguk. Gelombang kekhawatiran mulai menyerangnya lagi, menguasai pikirannya dengan cepat seperti partikel gas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SULUNG
Teen Fiction[DIREVISI setelah TAMAT] Rasa sayang, cinta, terbiasa bersama, dan takut berpisah terkadang menjadi alasan mengapa kita sulit merelakan orang yang sangat berarti di hidup kita. Baik itu pasangan, sahabat, maupun keluarga. Awalnya hidup Akia sekelua...