Pukul 06.00. Gadis itu menyisir rambutnya. Pelan. Panjangnya hingga pinggul. Berwarna hitam kelam. Matanya tak lepas dari kaca. Seolah pantulan dirinya terlihat seperti orang lain. Ia merasa asing dengan dirinya sendiri. Mungkin juga dengan suara khas perempuan puber miliknya. Tapi ia jarang mendengar suaranya sendiri. Satu satunya yang meyakinkan adalah berpikir bahwa gadis itu memang dirinya. Napasnya dan pikirannya, setidaknya masih ada , yang terkadang mungkin terasa tidak waras.
“Sean, ayah sudah menunggu”. Seorang wanita menyembul dari balik pintu. Parasnya masih cantik dengan wajah dewasa yang keibuan. Ia tersenyum. Sean segera mengambil tasnya. Ayah sudah menyalakan mobil.
“oh, aku pikir kamu akan berangkat bersama siapa temanmu? Sandy? Anny?” ayah mengerutkan dahi.
“Dandy”. Suaranya terdengar parau. Sungguh tak enak sekali didengar.
“yah, itu maksudku. Kupikir hari ini dia juga akan menjemputmu”
“tidak”, lalu percakapan berakhir. Ayah mengemudikan mobilnya dan gadis itu memandangi pantulannya.
*><*“sea...” seorang gadis lainnya menyambut Sean. Wajahnya ceria dan penuh energi.
“maaf aku tak menjemputmu. Aku baru ingat aku punya jadwal piket”. Dandy merangkul pundak Sean. Gadis itu tersenyum tipis.
“jangan marah baby” Dandy merajuk.
“bukan masalah besar” ucap Sean. Mereka memasuki kelas. Sepanjang jalan, Sean melihat lagi pantulan dirinya dikaca kaca. Penampilannya tak terlihat aneh. Masih sama dengan siswa lain. Tentunya masih ada yang terlihat berbeda. Dirinya. Ada masalah dengan dirinya. Ia mengalihkan pandangam dari kaca.
Di sepanjang lorong, anak anak ramai berkelompok. Ia melihat segerombolan cowok sialan yang menjadi masalah kedua baginya. Liam yang paling utama. Cowok itu tak bisa melihatnya tenang. Mereka melintasi gerombolan itu.
“gubrak. Lutut Sean menyentuh lantai. Keras. Ia meringis merasakan sakit. Tak lama tawa menggema dipenjuru lorong. Dandy membantunya berdiri. Sedikit tertatih tatih ia melangkah pelan. Para cowok sialan tertawa disekitar mereka. Sean tahu, Liam sedang memandangnya penuh kemenangan. Satu kejahatannya telah terlaksana.
“kutub utara bahkan tak ada apa-apanya” gumam Liam. Mereka bisa mendengarnya.
“tutup mulutmu sialan”. Dandy berteriak sambil lalu.
“tak apa. Mereka para sialan yang kurang hiburan”
*><*Hari hari setelah kegiatan sekolah usai, Sean mengurung diri dikamar. Ia menekuni pikirannya. Bagaimana otak itu berjalan lalu menciptakan film yang disutradarainya. Terkadang film itu tampak nyata. Senyata dirinya dan orang lain dalam dirinya pula.
Gadis itu berjalan kejendela. Ia membuat bentuk dikaca. Awan mendung sudah menggelap dilangit. Seperti yang ia baca tadi, hujan ini mungkin akan bertahan lama.
“Sean” suara lembut mengalihkan perhatiannya.
“sayang, bisakah kita minum cokelat hangat bersama? Hari ini cukup dingin dan tidak terlalu sibuk. Mungkin kita bisa bersama sama berkumpul dibawah. Ayah membawa film baru”. Wanita itu kelihatan sedikit memohon.
“Bu, aku akan menyusul sebentar lagi” ucap Sean. Wanita itu tersenyum simpul lalu pergi dari kamar Sean. Gadis itu kembali kejendela. Ia melihat rintik rintik mulai turun. Bayangannya menampilkan sesosok gadis kecil yang nakal. Bermain hujan dihalaman lapang. Tapi dengan cepat gadis itu tumbuh dewasa. Ia menjadi sesosok gadis cantik yang menyisakan nakalnya sewaktu kecil. Namun, lama lama pudar juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan Serpih
Short Story"kurasa kita tak benar-benar bersenang-senang". Ia membuang puntung tembakaunya. "kesenangan ini mungkin hanya sebuah tuntutan. Kita butuh ruang kembali. Kembali seutuhnya, tanpa beban". Aku mengerutkan alis. Perkataannya membuatku harus berpikir ap...