Lewat kaca jendelanya, Ana menatap gerombolan anak yang sedang berlarian di lapangan. Tawa mereka begitu terdengar senang. Seorang ibu memanggil anaknya lalu menyuapkan sesendok nasi. Anak itu kembali berlari bersama anak-anak lain. Sesekali ibunya meneriaki tingkahnya. Ana terduduk di sudut kamarnya yang luas.
Betapa minggunya tak secerah yang ia harapkan. Liburan kepantai, camping dengan keluarga, sepertinya tak jadi kenyataan. Ia pikir hidupnya tak semenyenangkan yang lain. Hampa dan suram, pikirnya.
Kapan terakhir kali ia liburan bersama? Lama sekali. Berbulan-bulan yang lalu. Hal ini tak mengenakkan sama sekali. Pasalnya, setiap hari senin kelas ramai ocehan teman-temannya soal liburan. Apa yang bisa dibicarakan darinya? Ia terdiam dengan perasaan dongkol.
Ayah dan ibu bahkan jarang di rumah. Di rumah besarnya, hanya tinggal pembantu-pembantu yang kadang menyebalkan. Memintanya ini itu. Minggu ini pun, ia tak bertemu orang tuanya secara langsung. Padahal, ingin sekali dirinya liburan bersama keluarga.
"Ayah dan ibu sedang kerja cari uang buat sekolah kamu". Ana sudah terlalu familiar dengan kata-kata itu dari mulut orang tuanya. Hingga ketika mereka bicara lewat telepon, Ana dapat menirukannya.
Lama-lama ia semakin iri dengan teman-temannya. Apalagi dirinya yang tak leluasa bermain di luar rumah. Pembantu-pembantunya akan membuntut seperti pengawal.
"Aku bosan", berkali-kali ia melontarkan perkataan itu.
"Kupikir hidupmu menyenangkan", lalu sebuah suara menyahut. Teman sekelasnya. Yuri yang kutu buku.
"Apanya yang menyenangkan"
"Hidupmu berkecukupan. Pasti menyenangkan bisa membeli apapun", ucap Yuri disampingnya.
"Membeli apapun jika orang tua jarang di rumah tak ada hal mengasyikkan"
"Oh kupikir hidupmu senang terus. Berbeda denganku yang susah mulu"
Ana menatap Yuri. Susah? Ia bahkan juga iri dengan anak itu. Meski sederhana, tapi setiap hari ia diantar sekolah oleh orang tuanya.
"Aku suka punya keluarga yang hangat, daripada harta melimpah" Ucap Ana. Yuri menghela napas.
"Aku sebaliknya, punya harta banyak. Gapapa orang tua sibuk. Yang penting aku bisa beli apa yang aku mau. Bisa beli banyak buku"
Ana menatap Yuri lagi. Benarkah kehidupannya diinginkan orang lain? Ia muak dengan hidupnya. Dipikir jadi orang biasa dengan keluarga hangat lebih menyenangkan.
Seandainya bisa tukar kehidupan, Ana ingin menukar hidupnya sekarang juga.
"Kata ibuku, manusia tak pernah cukup. Diberi ini minta ini. Terus begitu hingga tak pernah cukup, rasanya susah terus. Yang benar, kita terima dan syukuri apa yang telah ada. Kira-kira itu bisa bikin bahagia", ungkap Yuri kemudian.
"Kalau kamu jadi aku. Kamu juga bakal ingin hal sama apa yang kamu miliki saat ini. Begitu seterusnya"
Ana mengangguk. Tak dinyana, hidupnya beruntung. Hanya dari sisi buruk ia memandang. Sisi baiknya ia lipat rapat tanpa terbuka. Pikirnya telah salah selama ini. Siang itu, ia dapat menerima siapa dirinya. Tak salah orang tuanya. Mereka cari uang untuknya. Yang ia lakukan sekarang ini adalah belajar. Untuk membanggakan orang tua yang selama ini ia salahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan Serpih
Short Story"kurasa kita tak benar-benar bersenang-senang". Ia membuang puntung tembakaunya. "kesenangan ini mungkin hanya sebuah tuntutan. Kita butuh ruang kembali. Kembali seutuhnya, tanpa beban". Aku mengerutkan alis. Perkataannya membuatku harus berpikir ap...