Andai kamu tahu, aku ini sibuk sekali. Sibuk seperti orang-orang sibuk lainnya. Membawa tas besar, baju kantoran yang sudah disetrika licin, memakai parfum berjuta juta, dan polesan make up pengganti topeng. Aku sarapan roti mahal yang enak sekali. Dicampur saus atau mayonais dan ada sayurnya. Minumku jus atau susu.
Aku mengejar bus atau naik mobil berkilauku. Aku juga duduk dikursi empuk dan punya ruangan sendiri. Oiya, komputerku tidak hanya satu. Diruanganku sendiri ada tiga. Hebat ‘kan? Lebih hebat lagi aku presentasi di podium dan mendapat tepuk tangan meriah.
Dan ujungnya, uang mengalir padaku. Uang yang bergambar presiden pertama Indonesia. Sangat banyak. Bahkan aku bisa membeli apartemen mewah. Anggur berkualitas dan bersenang-senang layaknya orang yang tak punya beban.
Lampu sorot warna warni menerangi ruangan. Suara musik dance elektro sungguh membuatku selalu ingin bergoyang. Menyenangkan sekali. Aku menjadi orang kota sejati. Aku bisa melakukan apapun tanpa ada yang peduli. Seperti menari sambil minum anggur.
Tapi tahukah? Ada yang membuatku mengganjal akhir-akhir ini. Bukan soal harta. Jika masalah itu, hartaku tumpah ruah sebagai wanita single. Aku teringat sesuatu.
“apa kamu senang dengan semua ini?” pertanyaan itu keluar dari bibirnya.
“apanya? Aku menikmati. Lihat, kemewahan ini sungguh menyenangkan”. Aku tertawa kecil. Dia diam dengan segenggam ragu yang kubuat. Benarkah? Matanya mengawasiku. Seolah mencari jawaban yang sesungguhnya.
“yakinkah?”
Yakin. Aku menjawabnya tanpa suara. Pria itu, Leo, menghisap tembakaunya. Pelan. Seperti menikmati aroma yang disesap dan ada setitik kejenuhan disana. Dimatanya. Aku bisa melihatnya. Pria itu sedang jenuh.
“ayolah, kita bisa mencari suasana baru. Berlibur mendaki, kepulau terpencil, atau apa sajalah. Meninggalkan kota sejenak mungkin dapat menghilangkan kejenuhan”, ucapku. Aku mulai menyulut tembakau. Dia masih menyesap tembakaunya. Matanya terpejam.
“bukan itu maksudku”, ucapnya.
“apa hidup ini menyenangkan?” tanyanya lagi.
“ha...ha...kenapa tanya begitu?” . Itu adalah pertanyaan yang tak perlu ditanyakan.
“dimana orang tuamu?”, tanyanya. Dan ini aneh karena sesungguhnya dia tahu seluk beluk hidupku.
“sudah membusuk ditanah”, jawabku demi menghargai pertanyaannya.
“bawa apa mereka ditanah?” pertanyaan itu sudah jelas ia tahu jawabannya. Ya membawa jasad mereka dan kain putih.
“Cuma itu ‘kan? Jadi perjuangan mereka berakhir dengan kain putih yang membusuk. Jadi, untuk apa semua ini jika kamu mati tidak dibawa?”
“untuk bersenang-senang selama masih hidup”, jawabku.
“kurasa kita tak benar-benar bersenang-senang”. Ia membuang puntung tembakaunya.
“kesenangan ini mungkin hanya sebuah tuntutan. Kita butuh ruang kembali. Kembali seutuhnya, tanpa beban”. Aku mengerutkan alis. Perkataannya membuatku harus berpikir apa yang dimaksudkannya.
“aku sungguh tak mengerti”
“begini, apa kamu masih merasakan lelah?” tanyanya.
“ya tentu. Semua orang pasti pernah merasakannya”.
“artinya kita belum bersenang-senang. Semua ini hanya penebus kelelahan. Kita baru membayar, belum mendapat untungnya”. Apa ini masalah ekonomi atau filosofi sesuatu, aku tak tahu. Pembicaraannya sangat berbeda dari biasanya dan terasa berat.
“makanya kita butuh ruang kembali. Kembali seutuhnya seperti anak-anak”.
Lalu percakapan kami berakhir. Aku tak mendapat kesimpulannya. Aku masih membutuhkan penjabaran yang lebih banyak lagi. Leo malah menyesap anggurnya hingga habis dan itu yang kulihat terakhir kali. Ia tak datang lagi ke club. Ia juga tak kulihat bekerja. Nomornya tak bisa kuhubungi. Pria itu menghilang bagai ditelan bumi. Tapi perkataanya tak ikut menghilang. Ia selalu terngiang. Mengisi beberapa Persen memori otakku yang kadang terasa mengganjal. Seperti membutuhkan jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan Serpih
Conto"kurasa kita tak benar-benar bersenang-senang". Ia membuang puntung tembakaunya. "kesenangan ini mungkin hanya sebuah tuntutan. Kita butuh ruang kembali. Kembali seutuhnya, tanpa beban". Aku mengerutkan alis. Perkataannya membuatku harus berpikir ap...