Gadis Senja Dan Secangkir Cappuccino
Sreeek...
Aku merobek kertas iklan. Lalu mencelupkannya ke dalam cangkir cappucinoku. Aku meminumnya hingga habis. Jika kamu tanya rasanya, maka terasa sangat nikmat dengan gadis senja didepanku. Ia menatapku dengan mata sayu. Selalu begitu. Aku ingin tertawa melihatnya. Ia terlihat seerti senja yang paling gelap. Mungkin cahaya terakhir dari sepucuk senja yang hampir tenggelam. Ia tak pernah merasa aneh dengan tingkahku. Karena diapun juga aneh. Kami menikmati keanehan di antara kita.
Jo....
Kupanggilpun ia tak menyahuti. Sejak satu jam yang lalu ia tak merubah posisi duduknya, kecuali aku yang merubah. Tapi sekarang aku sedang tak mau. Tanganku terasa jauh menggapainya yang begitu mungil. Kadang akubsedikit ngeri dan marah. Lucu ya.
Dan sekarang ini aku memilih marah. Bukan murni pilihanku sepenuhnya. Kami lagi-lagi melakoni drama yang dipaksakan sutradara. Ceritanya sudah kubaca habis. Tinggal menjalani akting yang begitu melelahkan. Aku harus marah dan kecewa. Begitu terus hingga senja benar-benar habis.
Microphone, kamera, dan latar sudah siap. Sutradara mulai memberi aba-aba. Para kru berdiri diposisi masing-masing. Ada pemain pembantu yang berada disekitar kami. Aku menarik napas. 1, 2, 3. Rolling action.
“Kenapa kamu pergi?” tanyaku mengawali percakapan.
“Karena aku ingin”. Lagi-lagi jawaban itu yang diberikannya.
“Alasannya terlalu luas”
“Kamu bisa mempersempitnya”
“Keinginan itu banyak senja. Ingin keluar kota, ingin pulang, ingin berlibur, ingin menenangkan diri, atau ingin... Meninggalkanku” . Aku diam dengan ucapanku. Begitupun Senja yang terus menatap mentari bergerak.
“Alasan itu karena kau ingin” ucapnya lagi. Aku tak pernah mendapat jawaban pastinya.
“Hanya ingin. Ada apa dengan keinginan” gumamku putus asa.
Pertanyaan itu tak pernah terjawab. Kurasa aktingku cukup bagus. Sampai kapanpun aku akan menjalani akting yang sama. Padahal ingin sekali aku melakukan akting selanjutnya. Tapi sutradara stagnan di tempatku saat ini.
Suatu saat sutradara bicara padaku melalui angin yang berembus. Lirih. Hampir tak terdengar.
Aku harus menyimpulkan keinginan itu sendiri.
“Jadi kamu ingin membuat teka-teki?” tanyaku.
“Sebenarnya aku bukan bermaksud membuat teka-teki, tapi rasanya aku sulit mengungkapkan keinginanku”. Aku menatap matanya.
“Seberat apakah keinginanmu?”
Lagi-lagi pertanyaanku dibawa angin lalu. Gadis itu seperti tak menghargai ucapan yang kulontarkan. Betapa menyedihkannya diriku. Bahkan aku seperti anak kecil yang tak perlu jawaban logis.
“Kamu tahu? Kamu mengecewakan orang. Banyak orang mungkin”. Aku meluapkan kekesalanku.
“Awan”
“Sudahlah. Kamu ingin kan? Turuti saja keinginanmu” . Aku menghabiskan cappuccinoku. Gadis itu tampak patah. Sayapnya mengkerut. Pendar senjanya mulai menggelap.
“Cappuccino itu indah. Latte art nya mengandung seni tinggi. Tuangan dari Tuhan melalui makhluknya. Tapi keinginan untuk meminumnya bisa merusak keindahan itu, bahkan melenyapkannya. Tak berbekas” ucapku. Aku berdiri dari dudukkku. Langkahku mulai menjauhi Senja.
“Karena takdirnya memang begitu” seru Senja. Aku berhenti dari langkahku. Tanpa kulihatpun air matanya telah berurai.
“Dia untuk diminum, bukan untuk dilihati keindahannya. Jika dibiarkan hingga berubah jadi jelek, ia tak lagi senikmat sebelumnya”
Akhirnya dia pergi mendahuluiku. Bahkan bayangannya tak bersisa dibalik gelap. Senja memang sudah tenggelam.
Perkataannya terlalu benar, hingga rasanya aku tak dapat terima. Saat itu kami tiga puluh tahun. Tua bagi orang-orang, tidak untukku. Aku ingin, lagi-lagi ingin. Hanya menikmati keindahan Senja yang rupawan. Tak tahu bahwa gadis itu memiliki ingin yang lain, sebelum cappuccino diantara kami disajikan. Sebelum mendingin oleh waktu. Sebelum keindahannya perlahan sirna.
Dia menerima sebuah akad. Yang merubah apapun tentang dirinya. Bukan diriku. Ada yang lain yang bersedia mengucap akad. Aku menyaksikan bagaimana keindahan mulai menjauh. Dulu, bodohnya aku. Menunggu kesiapan yang tak pernah berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan Serpih
Short Story"kurasa kita tak benar-benar bersenang-senang". Ia membuang puntung tembakaunya. "kesenangan ini mungkin hanya sebuah tuntutan. Kita butuh ruang kembali. Kembali seutuhnya, tanpa beban". Aku mengerutkan alis. Perkataannya membuatku harus berpikir ap...