Salah Sangka

1 0 0
                                    

CANTIK kali gadis itu. Pikiran Sobari melayang dimabuk pesona gadis molek. Harusnya mimpi itu berlanjut jika tak ada suara ketukan pintu. Ia terjaga dengan gadis molek yang masih terngiang.


Tiba-tiba ia terlonjak dari ranjang. Jantungnya berdetak lebih keras seperti musik disko. Tapi ini bukan hal menyenangkan. Sekarang ia ingat bagaimana hidupnya kali ini. Masa bodo dengan mimpinya tadi. Kali ini keadaannya darurat. Mungkin setelah ini ia akan menghirup pengapnya ruang berjeruji. Ia bergidik. 


Kakinya melangkah pelan menuju jendela. Hampir-hampir tak menimbulkan suara. Ia mengawasi keadaan sekitar. Sepi. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Orang-orang pasti sudah menuju langgar untuk sholat maghrib. 


Ketukan itu makin keras. Orang diluar sana sudah tak sabar menemui dirinya. Ia melompat dari jendela lalu segera lari sekencang mungkin. Setidaknya bukan hari ini ia membaui busuknya penjara. Ia menuju rumah desa seberang. Ia tak melewati jalan umum melainkan hutan yang gelap dan becek.


Sela satu jam kemudian ia sampai dirumah paling ujung dan paling jelek. Ia membuka pintunya. Gelap. Memang tak ada lampu dirumah itu. Ia menyalakan lilin yang tak sengaja ia temukan. 


“Bur” panggil Sobari lirih.

“Bur”. Tak ada sahutan. Hanya jangkrik-jangkrik mengkerik yang menjengkelkan.

“Polisi dah sampai kemari. Kita harus kabur lebih jauh. Mungkin ke pulau seberang” . Sobari memasuki sebuah bilik sempit. Disana duduk laki-laki kurus dan bungkuk. Laki-laki itu terlihat aneh dengan kopiyah di kepala. Sebentar kemudian kepalanya menoleh. Sobari menatap nyalang.


“Aku bingung, Bur. Kita bakalan tertangkap. Malam ini kita harus pergi”. 


Tak lama mereka bercakap Sobari terlihat sedih. Burhan tak mau ikut. Ia sudah pasrah dengan nasibnya nanti. Lain dengan Sobari. Laki-laki itu terus menghindari kejaran polisi. Kesalahannya kali ini sangat fatal dan berat. Ia tahu polisi bakalan menghukum mati dirinya atau mungkin penjara seumur hidup. Syamsudin terasa membayang-bayanginya. Sepupunya itu dulunya orang baik. Lantaran sepetak tanah, mulut Syamsudin tak henti menjelek-jelekannya. Sobari bukan orang yang sabar. Malam purnama beberapa saat kemarin tangannya bersaksi. Ia menggoreskan pisau keleher Syamsudin. Mayatnya ia buang ke sungai. Ia dibantu Burhan yang juga menyimpan dendam pada Syamsudin. 


Inilah akibat yang sudah ia duga. Kakinya melangkah membawanya ke pelabuhan. Dengan beberapa potong pakaian dan beberapa uang kertas ia meninggalkan rumah Burhan. Di tengah perjalanan sirene polisi terdengar dari kejauhan. Hatinya mencelos mendengarnya. Ketakutan benar-benar merasuki Sobari. Sekalipun ia belum pernah terkurung dalam bui. 


Pelabuhan masih ramai orang-orang. Matanya awas. Mungkin salah satu dari mereka adalah polisi. Dari kejauhan ada sebuah kapal yang akan berangkat. Ia berlari memburu kapal itu. Banyak orang-orang yang juga menumpang kapal barang tersebut. Ia membayar beberapa receh saja. Hatinya sedikit lega. Ia duduk di geladak kapal bercampur dengan orang-orang. Tentu saja mereka adalah orang-orang miskin yang tak mampu membayar sewa mahal. Maka di sinilah mereka. Kapal melaju tenang dalam gelapnya malam. Sobari mulai bisa memejamkan matanya. 

Kepingan SerpihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang