Satu Malam Panjang

5 0 0
                                    

Suara jangkrik mengerik menjadi teman perjalanan Ningsih dan rombongan malam itu. Para ibu yang tentunya ada ibunya juga, berjalan sambil membawa rantang isi makanan. Makanannya enak sekali. bermacam buah, kue-kue tradisional, ayam ingkung serta bermacam buah, kue-kue tradisional, ayam ingkung serta selengkapnya, minuman Limun. anak-anak terkadang nakal mencomot makanan dari rantang. itu hanya candaan belaka agar ibunya mengomel ngomel.

malam itu akan menjadi malam panjang dan mengesankan. Seluruh penduduk desa berkumpul dalam satu tempat di Masjid Sunan Cirebon. Masjid itu dikelilingi oleh makam. di masjid, ada acara besar yang diadakan setiap tahun. Majemukan namanya. itu adalah cara para penduduk untuk merayakan dan mensyukuri  hasil panen tanaman mereka.

Semua orang bahagia. Makanan melimpah. Ningsih amat senang. ia menemani ibunya membawa rantang isi ayam ingkung. Di tempat, masjid sudah ramai lalu-lalang orang. Para penjual berdiri menanti pembeli. Ah, memang acara ini juga bisa menjadi ladang mencari uang. Tenda mainan anak-anak telah sesak pengunjung. Lucunya, anak kecil itu pandai sekali merayu untuk dibelikan. Berbagai suasana sedang muncul kala itu. Bersatu menjadi kehangatan.

Ningsih menaiki tangga, menuju pendopo utama. Para bapak sudah duduk duduk merokok. di desa itu, tradisi ngelinting masih lekat. di depan mereka sudah berderet-deret rantang makanan. Ningsih dan ibu meletakkan rantang itu didepan Bapak mereka.

"Bu, buahnya nggak lupa, toh?”, tanya Bapak.
“ nggak, di bawa Udin “. Udin adalah adik Ningsih yang masih SMP. Mungkin anak itu kelayapan dengan temannya sebelum sampai di Pendopo.

bapaknya kembali berbincang dengan teman-temannya. Ningsih dan ibu menunggu di undakan pendopo. Para warga lain juga telah berdatangan. Ikut nimbrung sambil salam-salaman.

“Weh lah, iki Ningsih to?”, tanya Mak Iyah, tetangga Ningsih yang sudah cukup tua.

“Iya mak”, ucap Ningsih.

“Lama hidup di kota, makin cantik saja nduk”. Mak Iyah duduk di sampingnya. Ningsih tersipu-sipu. memang sudah lama ia Merantau. dan baru tahun ini ia mengikuti majemukan setelah 3 tahun Merantau.

“Lha gitu, pulang terus ikut majemukan. Nggak ada to di kota?”

“Enggak mak”, jawab Ningsih.  Juga Mulai nimbrung di sekitar Ningsih. Bersalaman dan menanyakan kabar. Warga-warga sangat ramah, berbeda dengan tempat ia tinggal di kota.

pada pukul sembilan, acara dimulai. Pembawa acara sudah 10. Bahasanya Jawa kental dan kebanyakan bahasa klasik. Ningsih tak terlalu paham.

Setelah ini ada gunungan, yang isinya aneka panen warga serta tumpeng yang sedang diarak keliling kampung. gunungan itu dipikul oleh beberapa warga, diikuti anak-anak kecil yang ikut Mengarak. Nanti, setelah sampai di masjid warga akan berebutan memunguti hasil panen.

seperti saat ini, iringan Tabuhan sholawat rodat sudah terdengar. Warga mulai berdiri. Mereka tak sabar melihat gunungan yang besar.

“gunungan ini, adalah simbol rasa syukur dan kebersamaan kita akan hasil panen yang melimpah”, ucap Mak Iyah. Ningsih mengiyakan. Memang tradisi mereka masih kental. Cara mereka mensyukuri nikmat Tuhan, adalah merayakan dengan kebersamaan.

Ulama setempat memimpin doa bersama. gunungan telah berdiri kokoh tak jauh di depan Ningsih. Ah, rasanya masa kecil kembali. Rasa deg-degan Menguasai dada. Bagaimana perebutan gunungan para warga. Ningsih selalu takut ketika perebutan dimulai. Kadang wanita yang lemah harus jatuh.

sebentar kemudian warga mendekati gunungan. mengambil apa saja yang bisa diambil. Saling berebut ramai sekali. kacang, cabai, terong, pada dikoma semua habis ludes hanya dalam beberapa menit.

tak tampak kecewa bagi yang tidak dapat atau hanya dapat sebuah cabai, seperti Ningsih. Kebetulan ada penjaga gunungan yang melempar sayuran hingga ke dekat Ningsih. perempuan itu tertawa bersama ibunya dan Mak Iyah.

“yang penting kita bahagia”. Ucap Mak Iyah di tengah keramaian.  Beberapa orang membagi sayuran yang di dapatkan.

"Sejatinya bukan persaingan mendapatkan. Tapi kerukunan dan kebersamaan yang harus kita raih ". Ucap Mak Iyah. Ah.. titik petuahnya selalu mengandung nasihat.

"setelah ini rodat dan tuk bhung. Iseh kelingan ora?” Mak Iyah tertawa lagi. Tentu saja Ningsih masih ingat. Ia mencintai tradisi itu.

“Masih mak”

“Kukira sudah lupa”

“ Banggalah dengan tradisi kita. Rodat dan tuk bhung adalah bukti sejarah-sejarah perpaduan Islam dan Jawa tradisional yang unik dan nilai budayanya tinggi", ucap Mak Iyah. Ningsih mengangguk. ingat iringan rebana rodat Yang bertempo cepat mengiringi tarian kipas. Atau tuk bhung Yang mendayu-dayu seperti gamelan. Biasanya akan bergantian dimainkan hingga pagi.

“ Dilihat-lihat, anak zaman sekarang sudah mulai luntur melestarikan budaya. Emak bangga lho, lihat anak-anak itu”. Mak Iyah menunjuk barisan pemuda yang sedang menari kipas sambil duduk.

Iya, Ningsih pun bangga menyaksikannya. Tradisi majemukan masih kental menghiasi tempat kelahirannya. Malam itu menjadi malam yang panjang. Malam Penuh syukur. Bukan permintaan yang melesat di Singgasana Tuhan. Melainkan kalimat syukur yang membanjiri.

“ Jadi, mau melek sampai malam?", tanya Mak Iyah. Ningsih tertawa. Iya tak kuat. Melek hingga malam biasanya dilakukan para lelaki

“Hahaha... Emak tak akan. Sudah tua mana kuat”. Mak Iyah menepuk pundak Ningsih.

“Enggak mak, Ningsih masih mau nonton, tapi enggak sampai pagi”. Ningsih tersenyum.

“Iyalah, emak pulang dulu. Pinggang emak mulai nyut-nyutan”. Mak Iyah tertawa. wanita subuh itu segera berlalu. Dituntun seorang cucunya yang ia lihat tadi ikut menari kipas. Pemuda itu tersenyum. Ningsih Mengangguk. Pemuda itu juga anak rantauan, tapi masih ikut melestarikan budayanya.

Akhirnya Ningsih menyaksikan tuk bhung Mendayu-dayu. para sesepuh melantunkan sholawat nya. Seperti gamelan, musik itu mengalun tenang di malam yang terlihat Bintang bertebaran.

Kepingan SerpihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang