redup

189 3 0
                                    


Matanya masih menatap gelas kosong sedari tadi, Asoka Agi Barata. Agi, nama panggilan kesayangan yang sudah biasa digunakan oleh ibu tercintanya. Namun sekarang nama itu terdengar menyakitkan, semenjak ibunya pergi meninggalkannya satu bulan lalu, Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang, bukan. Bukan karena ia terbiasa menjadi anak yang manja dan bergantung dengan orang tua. Namun, ibunya adalah satu-satunya yang ia miliki.

"kamu gak pulang, gi?" terdengar suara dari kejauhan, namanya Sakha, kawan terdekat yang bekerja di kedai kopi tempat Agi menyendiri setiap hari.

"pulang kemana, ka? Sudah gak punya rumah lagi" jawab Agi sembari melihat kearah jalan raya. Bukan, sekali lagi, bukan juga karena ia sudah tak punya rumah, Agi merupakan anak yang cukup beruntung karena ia memiliki harta sedikit peninggalan orang tuanya, tak banyak namun setidaknya cukup untuk bertahan hidup.

"Gi, sudahlah, jangan terus bersedih seperti ini. Ayo, bro. Bangkit lah" Sakha sebenarnya tidak mengerti apa yang membuat Agi menjadi terpuruk seperti ini. Setidaknya, menurut Sakha, kehilangan sosok ibu bukan menjadi satu-satunya alasan Agi menjadi dirinya yang seperti sekarang ini.
"saya pulang dulu, ka." Agi pergi meninggalkan kedai kopi itu, berjalan menyusuri kota Bandung di sore hari, ia tidak tau harus kemana, kakinya mengarah ke perempatan jalan, ia duduk di kursi yang terdapat ditrotoar jalan. Dijatuhkan tubuhnya, berharap bisa sedikit ringan bebannya. Lalu matanya menatap keatas langit malam itu, tidak ada bintang satupun.

"hhh bahkan langitpun tak bersedia menghiburku" gunggam Agi dalam hati sembari melihat ke arah langit yang terlihat mendung.

sudah hampir setengah jam ia duduk dikursi itu tanpa melakukan apa-apa, rintik hujan mulai membasahi tubuhnya pertanda ia harus segera pulang. ia mulai mengangkat tubuhnya berdiri menjauhi kursi, kakinya menginjak trotoar jalan berusaha kuat menopang tubuhnya, ia berdiri. Dan berjalan pergi meninggalkan perempatan jalan itu.

Tidak sampai dua puluh menit Agi tiba didepan halaman, disana terdapat sebidang rumah yang tidak begitu besar namun tidak kecil juga, tidak tingkat namun terlihat begitu nyaman. banyak tanaman di pelataran rumah, rerumputan terlihat meninggi tanda tak ada yang mengurus lagi, cat dinding semua dilimuti warna putih bersih, banyak jendela yang terbuka lebar seakan sengaja dibuatnya tak ada yang berniat untuk menutup, ia perlahan berjalan menuju rumah tersebut, memegang gagang pintu berbahan logam, dingin.
Ia membuka pintu tersebut secara perlahan, mendorong kedepan sehingga pintu terbuka dan terlihat sebagian isi rumah, masih sama.
Ia menginjak lantai marmer berwarna putih, kakinya maju terus kedepan, melihat-lihat sekeliling, masih sama.
foto-foto di atas lemari kayu pun masih pada tempatnya, ia memegang saklar lampu, dinyalakannya lampu seisi ruangan, terang namun hatinya tetap redup.
tangannya memegang sofa berwarna cokelat, ia berkeliling memegangi sofa tersebut, didudukinya sofa berwarna cokelat seperti biasanya, kakinya diangkat menindih meja bertumpuk koran-koran lama.

Agi mengingat baru sekitar dua minggu ia meninggalkan rumah ini, dulu terasa nyaman namun sekarang begitu menyakitkan. Sepi tak ada yang menghuni selain dirinya.
matanya terpejam sejenak, berharap ketika ia terbangun suasana rumah kembali seperti dulu, ingatannya kembali ketika ia menduduki sofa berwarna cokelat ini

"abaaaang" Agi sontak terbangun. Kepalanya terasa sakit. Ia langsung berdiri dan langsung berjalan menuju kamar mandi, ia butuh mandi, agar fikiran dan otaknya segar.

setelah menghabiskan waktu dikamar mandi ia mencoba merapihkan rumah yang sudah ia tinggalkan selama dua minggu terakhir, semua mulai dilimuti debu. Ia juga sedikit heran kenapa rumahnya tidak didatangi perampok menginggat ketika ia meninggalkan rumah ini semua pintu dan jendela terbuka lebar. Ia mulai merapihkan dari ruang tamu, ruang keluarga, hingga dapur dan lainnya. Semua masih pada tempatnya. Halamanpun terlihat berantakan, rerumputan mulai tidak pada ukurannya, semua mulai meninggi. Beberapa tanaman mati karena tidak pernah terkena siraman air hujan dan tidak ada pula yang menyiram.

tak sadar sudah pukul delapan malam, sudah tiga jam lebih ia membereskan rumahnya itu. setelah lelah beraktivitas, Agi memutuskan untuk beristirahat sejenak, berharap tidurnya nyaman malam ini, ia beranjak menuju kamar tidurnya, merebahkan tubuh pada ranjang dengan lapisan seprai putih beserta selimut kesayangannya, bandung malam ini dingin..


bunyi telepon berdering, agi mencari-cari dimana telepon genggamnya itu. Membangunkannya dari tidur.
"halo?"
"kamu dimana gi?"
"dirumah, ka. Ada apa?"
dari kejauhan Sakha tersenyum, akhirnya temannya itu mau kembali pulang kerumah. Ia selalu khawatir Agi akan menjadi gelandangan selamanya.
"wah, akhirnya, ada apa tiba-tiba kembali kerumah?"
"ada yang harus diselesaikan."
"baiklah kalau begitu, sudah pukul tujuh sekarang. jangan lupa ke kedai ya, gak ada kamu saya gak ada yang bantu-bantu nih"

kedai kopi yang menjadi tempat sakha bekerja ialah kedai kopi milik usaha keluarga Agi yang sekarang harus ia urus dengan baik mengingat itulah satu-satunya mata pencarian yang ia punya sekarang.
"diusahakan, saya juga masih ada yang perlu dibereskan kha"
"baiklah kalau begitu"
telepon terputus. Agi pun beranjak dari ranjangnya dan langsung berjalan menuju kamar mandi. Ia harus segera pergi menuju kedai untuk membantu sakha.

Setelah selesai, ia mencari-cari dokumen yang selama ini menghantui hidupnya, entah ada dimana ia tak tahu pasti, ia berjalan menuju kamar ibunya, kakinya terasa berat sekali, dadanya sesak, nafasnya tidak beraturan, hatinya hancur mengingat apa yang sudah ia perbuat pada satu satunya perempuan yang ia cintai, di buka pintu kamar lebar-lebar, semua masih terasa sama, ia berjalan mencari-cari apa yang di maksud oleh ibunya waktu itu, ia membuka laci lemari, semua kosong. yang ia cari-cari tidak ada. Dimana-mana kosong, hanya kesunyian yang tersisa di kamar itu. Setelah lelah mencari, Ia berjalan keluar, ditutupnya rapat-rapat pintu tersebut, berharap semua kekosongan tertinggal disana.
Agi tak paham harus mencari kemana dokumen-dokumen tersebut, ia berusaha tidak memikirkan lagi semua itu, ia harus fokus pergi ke kedai agar Sakha tidak kesulitan menjaga kedai sendirian.
Agi kembali kekamarnya, mengambil jaket dan bersiap untuk pergi, semua jendela ia tutup sekarang, tak dibiarkannya terbuka lebar-lebar lagi, semua terlihat sama seperti sedia kala, meskipun tidak dipungkiri jika didalamnya sudah terasa hampa.

Kakinya beranjak kearah luar rumah, ia berjalan pergi meninggalkan rumah menuju kedai kopi miliknya, trotoar jalan di Bandung memang terasa nyaman untuk berjalan kaki, semua tertata rapih dan bersih. Itulah mengapa sebabnya ia lebih suka berjalan kaki ketimbang menggunakan kendraan bermotor. Terlebih setelah apa yang telah menimpanya tempo hari.
Kota Bandung memang indah namun secara bersamaan juga terasa menyakitkan,
"mas Agi?" sapa laki-laki tua yang membawa sepeda ontel miliknya itu
"Pak Suyo, apa kabar, pak?"
Pak Suyo, laki-laki tua yang dulu menjadi supir dirumahnya, dulu ibu Agi membutuhkan supir untuk antar jemput kemanapun ia pergi, hal tersebut bukan karena ibu tidak dapat menyetir, namun rasanya lebih aman jika Pak Suyo yang membawanya. Pun juga dikarenakan Agi tidak punya cukup waktu untuk menemani sang ibu, Pak Suyo lah yang menggantikan perannya. Pak Suyo sudah ia anggap seperti kakeknya sendiri, sudah lama sekali ia tidak bertemu Pak Suyo menginggat beliau sudah mengundurkan diri karena sudah semakin tua dan tidak kuat lagi untuk beraktivitas. Terakhir ia dengar kabarnya pak Suyo pindah ke kampung halaman untuk menghabiskan masa tua bersama anak dan cucunya.
"baik Mas, Mas sendiri bagaimana?"
Agi tersenyum. Kepalanya mengingat ingat kembali apakah ia sudah baik-baik saja atau belum sama sekali.
"baik, pak"
Pak Suyo mengusap punggungku, aku tau dia sedang berusaha menguatkanku
"semua sama sekali bukan salahmu, Mas. Semua sudah pada jalannya"
aku memeluk Pak Suyo, lama sekali rasanya tidak berbincang-bincang dengan beliau. akupun mampir mengajak Pak Suyo untuk makan Mie Kocok dipinggir jalan.

AlanaWhere stories live. Discover now