2

566 51 12
                                    

   Terik matahari siang ini membuat penduduk SMA Tunas Bangsa mengeluh sambil mengipasi diri mereka, menghilangkan sedikit rasa gerah. Belum lagi listrik yang mati membuat mereka ingin sekali berendam di air dingin, pasti sangat segar.

"Gila! Panas banget sih," keluh Risya yang sejak tadi menggunakan buku tulisnya sebagai pengganti kipas.

"Baru panas dunia, gimana kalau panas di neraka, ya?" tutur Zila yang tengah bersandar di dinding dekat jendela. Setidaknya angin yang berhembus bisa membuatnya merasa sedikit adem.

Mendengar penuturan Zila yang terdengar horor, membuat Risya maupun Raesha bergidik ngeri. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya.

"Besok Kak Fariz ultah 'kan, Cha?" tanya Risya tiba-tiba.

Raesha mengangguk pelan. Seketika dirinya menjadi lemas mengingat jika besok Fariz, pacarnya ulang tahun. Dan yang membuatnya sedih ialah Fariz tidak bisa pulang karena tugas kuliah laki-laki itu yang tengah menumpuk. Pun dengan Raesha yang tidak mungkin ke sana karena besok dia ada presentasi lalu setelah pulang sekolah harus mengerjakan makalah yang akan diserahkan lusa. Malamnya ia harus mengajar les di rumah Nadhifa, bocah perempuan yang tengah duduk di bangku kelas tiga SD. Orangtua Nadhifa meminta Raesha untuk mengajari anak mereka dikarenakan mereka yang begitu sibuk bekerja sampai tidak mempunyai waktu luang untuk sekadar membantu sang anak belajar di rumah. Dan kebetulan sekali Raesha tengah membutuhkan uang, jadilah dia menyanggupi permintaan orangtua Nadhifa tersebut.

Raesha juga tidak mungkin meninggalkan semua itu, 'kan? Selain tidak dapat nilai, dia juga tidak akan dapat uang. 

Egois? Raesha rasa tidak. Baik dia maupun Fariz sama-sama mencoba meraih cita-cita mereka, mempersiapkan diri mereka untuk membangun masa depan yang jelas dan cerah. Belajar dengan giat dan berakhir memetik hasil sesuai keinginan. Jadi, mereka harus mengorbankan salah satunya. Cinta atau cita-cita. Pertemuan pengobat rindu atau menata masa depan sejak sekarang.

Dalam sebuah keputusan, harus ada yang dikorbankan. Dan Raesha terpaksa mengorbankan momen ulang tahun kekasihnya demi masa depannya. Raesha tidak mau nantinya Fariz menjadi seorang laki-laki yang sukses sedangkan dia hanya jadi gadis biasa.

"Ini nih, kenapa gue males kalo pacaran tapi harus LDR, ribet, susah," seloroh Risya menggebu.

Raesha hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Risya barusan. Ya, memang benar adanya. Hubungan jarak jauh memang sedikit berat untuk dijalani. Apalagi kalau sedang rindu namun tidak memungkinkan bisa bertemu dalam waktu dekat, rasanya pasti sangat sakit. Menahan rindu tidaklah mudah bukan?

Itu juga yang sering Raesha rasakan. Seringkali jika dia dan Fariz video call, Raesha pasti akan menangis ujung-ujungnya, meski tidak setiap video call dia menangis.

Selain itu, Raesha sering dihinggapi rasa was-was. Takut-takut jika Fariz bertemu dengan gadis lain yang lebih segala-galanya dibanding dirinya di sana dan nyaman dengan gadis itu. Aahhh, Raesha tidak bisa membayangkannya. Tapi Raesha selalu yakin dan percaya, jika Fariz tidak akan melanggar komitmen yang sudah mereka ikrarkan sejak pertama kali mereka menjalin hubungan. Dan sejauh ini semuanya masih normal. Baik-baik saja.

"Ih! Kamu tuh, Sya. Kan, Echa jadi sedih," tukas Zila sembari tangannya mengusap punggung Raesha.

"Kenyataan kog. Tanya aja sama Echa tuh, gimana rasanya LDR-an. Pasti nggak enak banget, iya kan, Cha?"

"Sesuai kitanya lagi sih. Yaa … tapi gitu lah, rada pahit rasanya," sahut Raesha sambil tertawa kecil.

Berbicara soal Fariz membuatnya semakin merindukan sosok bertubuh tegap itu. Sedang apa ya, sekarang?

Surga Yang DiImpikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang