5

369 35 2
                                    

   Seperti hari biasanya, setelah menunaikan shalat ashar, Raesha bergegas menuju kafe tempatnya bekerja. Senyuman ramah terpatri indah di bibir. Sesekali, ia menyapa atau membalas sapaan teman-temannya. Setelah mengganti baju dengan seragam kerja, Raesha pun mulai melakukan pekerjaannya. Sesekali ia menyenandungkan lagu-lagu kesukaannya. Mungkin benar, jika ada sebersit rasa lelah yang menyergapnya, namun itu tidak terus membuat semangat Raesha runtuh.

Jika mengikuti hati, mungkin saat ini Raesha tengah rebahan di atas kasurnya. Mengistirahatkan tubuhnya, setelah hampir seharian melakukan aktivitas. Tapi, tidak ada kata rebahan cantik dalam kamus hidup Raesha, lagi. Ia sudah mengubah isi kamusnya. Raesha sadar, jika hidup itu merupakan sebuah perjuangan. Jika dia hanya berdiam diri membiarkan semuanya terjadi tanpa ada niatan untuk mengubahnya, siap-siap saja ia akan diperbudak oleh masa.

Waktu terasa begitu cepat berputar. Seolah tidak memberi celah untuk diri sekadar beristirahat sejenak. Senja yang indah telah tergantikan oleh malam yang juga indah dengan hiasan bintang-bintang. Meski indah, tetap saja, malam selalu menyimpan seribu misteri dalam kepekatannya.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kafe juga sudah tutup sejak tiga puluh menit yang lalu. Menyisakan Raesha dan beberapa temannya yang tengah berberes-beres.

Di saat Raesha berganti pakaian, ponselnya berdering. Menandakan ada panggilan masuk. Tertera nama 'Bang Alvin' di layar benda pipih tersebut.

"Halo, assalamu'alaikum." Raesha menyapa lebih dulu.

Setelah menjawab salam dari Raesha, Alvin tanpa berbasa-basi langsung mengatakan tujuannya menelepon gadis itu.

🌻🌻🌻

   Jam menunjukkan pukul tiga dini hari, saat Raesha sampai di tempat tujuannya. Sekarng dia sudah berdiri di depan sebuah pintu rumah. Tangannya bergerak mengetuk seraya mengucap salam.

Setelah cukup lama menunggu, pintu itu akhirnya terbuka juga. Memunculkan sosok Alvin dengan muka bantal. Sepertinya, Raesha baru saja mengganggu tidur nyenyak seseorang.

"Lo seriusan dateng?!" Setelah melihat siapa yang mengganggu tidurnya, Alvin terbelalak kaget.

"Kak Fariz mana?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Alvin, Raesha malah bertanya hal lain.

"Masuk dulu." Alvin membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Raesha untuk masuk. Masih dengan wajahnya yang kaget. Tidak menyangka, jika Raesha benar-benar datang ke rumahnya. Ada rasa sesal di benak, karena sudah memberitahu gadis itu. Seharusnya, ia memberitahu Raesha besok pagi saja. Tapi, semuanya sudah terlambat. Semuanya sudah terjadi.

Hampir seluruh ruangan gelap. Hanya diterangi oleh sinar dari lampu luar. Tidak lama, Alvin menyalakan lampu ruang tamu. Membuat Raesha bisa lebih jelas melihat isi dari rumah sahabat pacarnya itu.

Ini kali kedua Raesha datang ke rumah milik Alvin. Rumah orangtuanya, lebih tepatnya. Yang pertama ialah saat ia ikut Fariz pindahan dulu. Dan yang kedua yaa saat ini.

"Fariz di kamarnya, lo masuk aja langsung. Tau 'kan, yang mana kamarnya?"

Raesha mengangguk. Tanpa basa-basi langsung bergegas menuju lantai dua. Hingga kakinya berhenti di depan sebuah kamar dengan pintu kayu berwarna coklat. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Raesha memutar handle pintu. Keadaan yang temaram menyambut Raesha saat kakinya melangkah masuk ke dalam kamar beraroma maskulin tersebut. Tapi, Raesha bisa menangkap siluet seseorang yang tengah menggeliat tidak nyaman di atas ranjang.

"Vin? Ada apa?" Suara Fariz terdengar serak dan lemah. Membuat hati Raesha terasa seperti dicubit. "Lo bisa ambilin air gue nggak? Jauh soalnya."

Surga Yang DiImpikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang